|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Kasih Ibu Yang Sejati - Sumatra |
|
Kasih Ibu Yang Sejati
- Sumatra |
|
|
|
Dahulu di sebuah hutan yang lebat,
hiduplah seekor induk kucing dengan anaknya. Induk
kucing itu sangat menyayangi anaknya. Dialah yang
mencari makan untuk anaknya meski pun anaknya sudah
mulai besar. Karena selalu bekerja keras untuk mencukupi
kebutuhan mereka, induk kucing itu akhirnya sakit.
Induk kucing itu lalu memanggil anaknya. Dia memberi
tahu tentang sakitnya dan menasehati anaknya agar
belajar mencari makan.
Anak kucing yang manja dan malas keliru menerima
nasihat ibunya. Ia merasa ibunya mengusir secara
halus dan tak saying lagi kepadanya. Anak kucing
itu lalu pergi meninggalkan induknya yang tua dan
sakit-sakitan.
Anak kucing itu berjalan tak tentu tujuannya. Suatu
saat ia mendongakkan kepalanya ke atas. Dia lihat
sinar matahari dengan sinarnya yang menyilaukan.
Dia berangan-angan kalau ibunya matahari, tentu
ibunya akan senang. “Wahai,
matahari yang perkasa maukah kau mengambil aku sebagai
anakmu?” katanya lantang kepada matahari.
“Mengapa kamu ingin
menjadi anakku?” “Karena
aku ingin perkasa seperti engkau.”
“Di dunia ini aku
tak selalu menang, tidak selalu perkasa. Masih ada
yang bisa mengalahkan aku.”
“Siapakah itu?”
“Awan. Awan sering
menutupi wajahku sehingga aku tidak tampak olehmu.”
Mendengar jawaban matahari seperti itu, kucing itu
mulai berpikir-pikir. Kalau begitu awan saja yang
menjadi induknya. “Awan
yang baik hati, maukah kamu menjadi ibuku?”
“Mengapa?”
“Kata Matahari, kamu
lebih hebat dari dia.” “O…
kucing yang manis. Masih ada yang bisa mengalahkan
aku di bumi.” “Siapa
dia?” “Angin!
Jika angin datang menyerang, maka tubuhku tercerai-berai.
Aku diterbangkan ke sana ke mari hingga hancur lebur
menjadi air.”
Kucing itu diam saja mendengar keterangan awan.
Dia berpikir lagi. Lalu ia berlari ke arah angin
yang bertiup kencang. “Angin,
angin, maukah kamu menjadi ibuku?”
“Apa sebabnya kamu
ingin menjadi anakku?” “Karena
kamu bisa bebas ke sana ke mari dan lebih hebat
dari awan.” “Jangan
kamu kira aku selalu senang. Aku pun sering punya
masalah, karena masih ada yang lebih hebat dari
aku.” “Siapakah
dia?”, kucing itu tetap penasaran.
“Bukit! Bagaimanapun
bebasnya aku bergerak namun jika di depanku ada
bukit, aku tak bisa meneruskan perjalananku.”
Mendengar kata angin itu, kucing tersebut segera
berlari-lari kearah bukit yang tinggi.
“Bukit yang tinggi. Maukah
kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
“Apa yang kamu harapkan
dariku?” tanya bukit itu.
“Kamu gagah dan kuat.
Aku ingin seperti engkau?”
“Hidupku pun tak lepas
dari masalah. Masih ada yang sering menggangu ketenanganmu.”
“Benarkah? Siapakah
dia?” “Kerbau.
Dia sering menanduk badanku hingga rusak dan rata
dengan tanah.”
Kucing itupun segera berlari-lari ke arah kerbau
yang ditambatkan. Nafasnya sudah mulai tersengal-sengal
tetapi ia tak peduli. Setelah bertanya kepada kerbau
ternyata kerbau itu menyatakan bahwa rotan yang
mengikat itulah yang membuat hidupnya tak tenang.
Lalu kucing itu berlari kearah rumpun rotan. Menurut
rotan, hidupku pun tak selalu senang, karena sering
digigiti oleh serombongan tikus hingga badannya
sakit semua. Mendengar jawaban rotan, kucing itu
segera berlari ke sebuah lubang. Di situ ada keluarga
tikus. Kucing itu mengutarakan maksudnya.
“Wahai tikus, maukah kamu
mengangkat aku sebagai anakmu?”
Induk tikus itu curiga, ada kucing ingin menjadi
anak angkatnya. “Apa
tidak keliru bicaramu itu?” tanya induk
tikus waspada. “Tidak.
Saya bermaksud sungguh-sungguh,” jawab
kucing. ”Hidup kami juga
sering ditimpa kemalangan. Di hutan ini ada binatang
yang sering membunuh anak-anak kami menjadi santapannya.”
“Benarkah? Siapa
binatang pemberani itu?” “Di
hutan ini ada seekor kucing tua yang sangat ditakuti
anak-anakku. Beberapa hari ini anak-anak kamu bisa
bermain-main di luar. Kabarnya kucing betina tua
itu kini sakit-sakitan. Apalagi anak satu-satunya
yang sangat disayangi meninggalkan dia. Kucing tua
itu tampak menderita sekali. Sementara anaknya mencari
kesenangan sendiri, tak tahu terima kasih kepada
ibunya.
Mendengar keterangan yang panjang lebar itu, si
kucing terduduk lemas. Dia sadar sekarang bahwa
tindakannya selama ini keliru. Tak terasa matanya
berlinang. Ia merasa rindu sekali kepada ibunya.
Dia merasa sangat berdosa terhadap ibunya.
Tanpa mengingat letih dia segera mencari ibunya.
Ketika berjumpa, ternyata ibunya tetap menerima
dia dengan penuh kasih saying. Sejak saat itulah
ia menjadi kucing yang rajin. Sekarang ia yang mencari
makan untuk ibunya. Dia tidak lagi menjadi kucing
yang manja dan malas.
Induk kucing selalu bersikap sabar terhadap anaknya
yang manja dan pemalas. Dia tidak mau memperlakukan
anaknya dengan kasar. Bahkan ketika anaknya meninggalkan
dirinya, dia tidak melarang. Dengan kesabaran dan
kasih saying yang selalu ada padanya, akhirnya anaknya
kembali. Setelah gagal mencari kebahagian di luar
lingkungannya, anak kucing itu kembali kepada induknya
dengan sikap yang telah berubah. Kesabaran induk
kucing itu telah menyadarkan anaknya dari sikap
yang tidak terpuji. |
|
|
|
|
|