|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Kera Yang Culas |
|
Kera Yang Culas |
|
|
|
Pagi itu udara amat dingin. Seekor
kera yang bertengger di dahan pohon segera turun
ke tanah. Ia ingin mencari sesuatu untuk menghangatkan
tubuhnya. “Aku
akan mencari temanku si Katak. Barangkali ia mempunyai
sesuatu untuk menghangatkan tubuh.”
gumam si Kera.
Setelah berjalan beberapa saat ia bertemu dengan
temannya yaitu katak. Si Katak nampaknya juga merasa
kedinginan dan kelaparan.
“Halo selamat pagi katak....”
sapa Kera.
“Selamat pagi Kera
temanku....”
Kedua sahabat itu berbincang-bincang dengan asyiknya.
Dan akhirnya keduanya mempunyai rencana untuk menanam
pohon pisang.
Setelah bersepakat, mereka pergi ke sungai untuk
mencari batang pisang. Ketika dilihatnya ada sebatang
pohon pisang yang hanyut di sungai kera berkata,
“Ah, kau saja yang berenang,
Katak. Nanti kulitku gatal-gatal”.
Tanpa banyak bicara Katak dengan cepat berenang
di sungai yang sedang banjir itu. Ia membawa batang
pohon pisang itu ke tepi sungai dengan susah payah.
Si Kera hanya enak-enak saja melihat Katak yang
menepikan batang pohon pisang.
Setelah batang pisang dibawa ke darat, mereka pun
memotongnya menjadi dua bagian. Kera mengambil bagian
ujung dan katak diberi bagian pangkal pohon. Katak
menurut saja atas pembagian ini. Pikir Kera, bagian
ujung tentunya akan lebih cepat berbuah. Merekapun
kemudian menanam pohon pisang masing-masing.
Katak menanam pohon itu di dekat rumahnya. Dia menggali
lubang, lalu lubang itu diberi pupuk kandang sebagai
tempat pohon pisang itu ditanam.
Sementara itu. kera menggantungkan ujung batang
pisang itu di atas pohon saman. “Kalau
pohon pisang ini berbuah, hanya aku sendiri yang
bisa memetiknya”, katanya dalam hati.
Beberapa hari kemudian, batang pisang Katak mulai
tumbuh daunnya.
Pada suatu pagi Kera mendatangi Katak.
“Hai, Katak. sudah tumbuhkah
pohon pisangmu?” “Ya,
baru berdaun satu”, jawab Katak.
“Punyaku pun begitu”,
kata Kera meskipun sebenarnya pohon pisangnya sudah
layu di puncak pohon saman.
Beberapa hari kemudian Kera bertanya lagi. “Bagaimana
pohon pisangmu Katak?” “Baru
berdaun dua”, jawab Katak.
“Ah, punyaku juga begitu”,
kata Kera, lagi-lagi ia berbohong kepada teman baiknya
itu.
Kera terus memantau keadaan tanaman pisang Katak.
“Bagaimana pisangmu,
Katak?” “Baru
keluar bunganya”, jawab Katak.
“Ah, punyaku juga
begitu”, kata Kera berdusta. Sebenarnya,
batang pisangnya sudah kering.
Suatu pagi dia datang lagi, lalu bertanya. “Bagaimana
pohon pisangmu Katak?” “Pohon
pisangku sudah berbuah”, jawab Katak.
“Punyaku juga begitu”,
dusta Kera lagi.
Beberapa hari kemudian buah pisang Katak sudah masak.
Bertandan lebat dan besar buah pisangnya. Ia ingin
sekali merasakan buah pisangnya.
Namun ketika ia memanjat pohon pisang yang licin
dan besar itu, selalu saja ia merosot jatuh. Dia
mencoba berulang kali, tetapi tidak juga berhasil.
Dan tiba-tiba datanglah Kera. “Hai,
Katak. Rupanya pisangmu sudak masak, punyaku juga
begitu, tetapi aku belum mau memetiknya. Aku masih
menunggu tamu Agungku, si raja Paung, untuk merasakannya,”
ujar Kera berdusta. Karena tak juga dapat memanjat
pohon pisangnya, terpaksa Katak meminta tolong pada
Kera. “Hai, Kera. Aku
minta tolong padamu untuk memetik buah pisangku
itu. Nanti kita bagi dua”.
“Hm....baiklah. aku setuju!”
sahut Kera dengan senang mendapat tawaran itu.
Dalam sekejap saja Kera sudah berada di atas pohon
pisang itu. Dia duduk dengan santai. Matanya berkedip-kedip
dan mulutnya tersenyum. Kemudian, mulailah dia memilih-milih
buah yang paling besar. Nyam... nyam... nyam , dimakannya
pisang-pisang itu. “Hai,
Kera. Berilah aku sebuah,” pinta Katak.
“Ah, sebentar. Aku
masih mencoba rasanya”, jawab Kera
sambil memetik pisang yang lain, dan nyam...nyam...nyam...!
“Hai, Kera. Berikan
bagianku”, pinta Katak lagi.
“Ah, ........... tunggulah
sebentar. Aku masih mencobanya!” jawab
Kera.
Demikianlah perbuatan Kera, dia terus memakan buah
pisang itu dengan lahap. Jika Katak memintanya,
selalu dijawab dengan ucapan masih mencoba rasanya.
Lama-kelamaan, jengkel juga hati Katak. Dia merasa
ditipu temannya sendiri. Karena marah, katak bersembunyi
di bawah tempurung kelapa. Ketika Kera melihat kebawah,
Katak sudah tak berada di tempat itu. “Ah,
kemana katak temanku tadi, jangan-jangan dia marah
dan pergi” pikirnya. “Hai,
Katak. Dimana kau?” teriaknya sambil
turun dari pohon pisang. Namun sunyi tidak ada jawaban.
“Hai, Katak. Dimana kau?”
teriaknya lagi. Katak diam saja tak menjawab. Dia
mencari Katak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak.
“Hai, Katak. Ini pisangmu?!”
Kera terus mencari Katak sampai di semak-semak,
tetapi tak dijumpainya. Dicarinya di pinggir sungai,
mungkin Katak sedang mandi. Di sanapun tak ada.
Setelah lelah mencari Katak, duduklah Kera di atas
tempurung kelapa. Lalu dia memanggil lagi. “Hai,
saudaraku. Katak yang baik hati, ini pisangmu?”
“Kuk!” jawab
Katak dari bawah tempurung. Kera sangat terkejut
karena jawaban itu datangnya dari arah bawah. “Hai,
Katak yang baik. Ini pisangmu?” ia
memanggil lagi. “Kuk!”
jawab Katak lagi. Kera menoleh ke bawah lagi. Dia
penasaran dan curiga pada alat kelaminnya. Dia mengira
alat kelaminnya itu yang menjawab. “Hai,
Katak. Di mana kamu?” teriak Kera lagi.
“Kuk!” sahut
Katak yang berada persis di bawah tempat duduk Kera.
Kera menjadi geram. Ia menyangka alat kelaminnya
memperolok dirinya. Dia berdiri dan mencari batu
besar, lalu duduk kembali di atas tempurung kelapa
itu. “Awas! Sekali lagi
kau menjawab akan kuhantam dengan batu besar ini!”
ancam Kera pada alat kelaminnya. “Hai,
Katak. Di mana engkau, ini pisangmu mana sarungku?!”.”Kuk!”
jawab Katak lagi. “Prak!”
Kera menghantam alat kelaminnya sendiri dengan batu
yang ada ditangannya. Maka seketika ia jatuh pingsan.
Katak kemudian keluar dari bawah tempurung kelapa.
Dia sedih dan kasihan melihat temannya luka parah
dan jatuh pingsan akibat ulahnya sendiri. Sebenarnya
ia tak menginginkan hal itu sampai terjadi.
Demikianlah cerita Kera dan Katak. Persahabatan
yang dilandasi tipu daya dengan maksud memperoleh
sesuatu tanpa usaha, akan berakibat fatal. Persahabatan
harus dilandasi dengan hati jujur dan saling percaya,
itu akan terbina kehidupan yang rukun dan damai. |
|
|
|
|
|