|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Kesombongan Luwing - Sumatra |
|
Kesombongan Luwing
- Sumatra |
|
Dahulu luwing adalah binatang yang
kecil dan panjang dan dapat berlari kencang. Dia
dapat mengejar matahari sampai matahari terbenam.
Karena larinya sangat kencang maka tidak ada satupun
binatang yang berani kepadanya. Bahkan manusia juga
menghormati luwing. Setiap hari ia menantang setiap
binatang untuk berlomba berlari.
Tetapi siapapun yang berani menjawab tantangan sang
luwing maka tak urung ia juga kalah pula. Ia terus
mencari musuh yang mau bertanding dengannya.
Ke sana-kemari sering pulang tangan kosong karena
tidak ada yang memberanikan diri.
Anak-anak luwing semakin sombong walau badan mereka
kecil. Semakin lama masyarakat luwing semakin berani
dengan binatang lain. Bahkan luwing sempat menantang
penguasa alam semesta.
Binatang lain sangat khawatir jangan-jangan penguasa
alam murka. Sedangkan kesombongan para luwing itu
membuatnya sangat kesepian karena tidak ada yang
berani bersahabat dengan mereka. Kesombongan itu
semakin memuncak dimana mereka mulai sering mengganggu
binatang lainnya.
Pada suatu hari luwing membuat gempar seluruh penghuni
hutan. Karena ia hendak mengajak burung hantu untuk
berlomba. Karena sudah tahu kecepatan luwing maka
burung hantu hendak menolak secara halus permintaan
luwing untuk bertanding.
Dia takut akan tersinggung jika ia menjawab dengan
apa adanya. Akan tetapi dasar luwing memang sombong
dan merasa dirinya jago, maka keramahan burung hantu
dianggap suatu penghinaan baginya.
“Kamu menghina saya ya?”
tanya luwing dengan kasar.
“Aku tidak menghinamu,
tetapi sekarang aku sedang tidak enak badan,”
kata burung hantu.
“Kamu bohong, mukamu tidak
pucat," getar luwing.
Sesungguhnya burung hantu memang tidak enak badan.
Ia juga merasa percuma karena nantinya juga tetap
kalah.
“Hanya kamu yang belum
pernah bertanding”, kata luwing. Burung
hantu tidak tahu harus mengatakan apa agar luwing
bisa mengerti.
Karena burung hantu tidak mau juga, luwing hilang
kesabarannya maka ia mengambil minyak lampu dan
mengoleskan di mata burung hantu. Burung hantu kesakitan,
luwing pun pergi meninggalkanya.
Sambil pergi meninggalkan burung hantu yang kesakitan,
luwing bersumpah, ”Hai
burung hantu, kamu tidak akan bisa melihat disiang
hari, matamu hanya dapat melihat di malam hari!”
Itulah sebabnya burung hantu sulit melihat pada
siang hari. Dengan cepat tersebarlah kabar penganiayaan
luwing pada burung hantu. Binatang lain merasa kasihan
melihat burung hantu yang terus kesakitan. Saat
itu burung hantu bersumpah akan memakan luwing jika
ia melihat luwing beserta anak cucunya di malam
hari. Sejak saat itu burung hantu dan luwing tidak
pernah bertemu.
Karena dianggap keterlaluan perbuatan si luwing
maka berkumpullah binatang hutan yang ada. Mereka
bermusyawarah untuk mencegah luwing agar tidak melakukan
perbuatan keji lagi kepada binatang lainnya. Hasil
musyawarah itu adalah binatang penghuni hutan meminta
kepada penguasa alam menghukum luwing agar tidak
terlalu sombong.
Mendengar keputusan binatang penghuni hutan, luwing
marah sekali. Dia mendatangi binatang yang hadir
dalam pertemuan musyawarah itu dengan satu persatu
dan memarahi mereka.
Disamping itu luwing juga balik menyampaikan undangan
agar para binatang tadi berkumpul kembali. Karena
pertemuan mereka kemarin dianggap tidak sah.
Maka berkumpullah semua binatang di sebuah lapangan
yang sangat luas. Anak-anak dan cucu luwing nampak
mondar-mandir sambil mengejek binatang lain yang
hadir dalam pertemuan itu. Gajah, babi hutan, harimau,
kucing, tikus, tupai, kelinci, rusa dan lainnya
juga berkumpul.
Mereka tidak berani untuk tidak datang dalam pertemuan
ini karena mereka takut jika luwing akan memporak-porandakan
rumah mereka.
Mereka seluruh penghuni hutan itu hanya bisa menuruti
saja apa kata masyarakat luwing karena didasari
perasaan takut. Tidak lama kemudian dihadapan mereka
muncul induk luwing di atas mimbar putih dan berpidato.
“Saya mau menyampaikan
kesan saya terhadap keputusan penghuni hutan yang
telah mengutuk saya. Perlu diketahui, tidak akan
ada yang berani menghukum saya. Sayalah yang terhebat
dimuka bumi ini. Kalian harus mengerti!”
Suasana yang tadinya riuh setelah kehadiran induk
luwing di atas mimbar menjadi sangat menegang. Mereka
tercekam rasa takut karena sudah tiada perlindungan
bagi mereka jika sang penguasa alam benar-benar
telah ditaklukkan luwing.
Induk luwing hendak menambah pidatonya, tiba-tiba
ada anaknya yang menjerit. Para binatang lainnya
semakin ketakutan.
“Siapa yang berani menganggu
anak saya?“ induk luwing membentak.
“Tidak tahu mak!”
jawab anak-anak luwing. Induknya geram memandang
binatang hutan satu persatu. Dia mengancam akan
menghukum mereka karena anak-anak mereka kesakitan.
Induk luwing merasa ada yang aneh kejadian ini.
Anaknya juga merasa heran karena seperti ada kekuatan
yang mempengaruhi mereka. Binatang yang hadir waktu
itu semakin ketakutan, tetapi mereka tidak bisa
berbuat apa-apa. Setelah diselidiki induk luwing
heran karena kaki anak cucunya tambah banyak. ”Pasti
ada yang usil”, pikir induk luwing.
Induk luwing bermaksud segera mendekati para binatang
lain dan mau mencari kepastian penyebab hal itu.
Dia mengira ada tangan jahil binatang lain yang
mengganggu agar konsentrasi rapat itu bisa buyar.
Ia dengan kemarahan yang meluap segera turun dari
mimbar.
Tiba-tiba dia terjatuh, "Aduh...........sakiit!”
serunya.
Binatang lain heran dan semakin takut karena induk
luwing tersungkur di pojok mimbar batu putih yang
tinggi itu. Tidak lama kemudian mereka pun tertawa
meski terheran-heran.
Mendengar ada yang berani tertawa, induk luwing
semakin marah. Hatinya panas, dia ingin segera menghukum
binatang yang hadir saat itu. Diapun bangkit akan
lari.
Tetapi dia sudah tidak dapat lari kencang. Dia terkejut
melihat kakinya sendiri yang menjadi banyak itu.
Muka pucat pasi. Seperti tidak berdarah lagi. Sadarlah
luwing-luwing itu kini.
Ia tidak lagi bisa berlari kencang karena kakinya
banyak. Dengan perasaan malu dia meminta ampun kepada
penguasa alam semesta. Sementara itu binatang lain
meninggalkan keluarga luwing. Keluarga luwing merasa
malu sekali.
Demikianlah, permohonan penghuni hutan kepada Sang
Maha Pencipta telah menjadi nyata. Dengan malu sekali
masyarakat luwing merangkak menuju hutan dan mereka
berjalan pelan di bawah daun-daun yang rimbun. |
|
|
|
|
|