|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Ketulusan Gadis Yatim Piatu |
|
Ketulusan Gadis Yatim
Piatu |
|
Mah Bongsu adalah seorang yatim
piatu. saat itu dia tengah sibuk mencuci pakaian
putri majikanya diatas batu sungai.
Tiba-tiba menggeliatlah seekor ular sebesar lengan,
berenang-renang. Lamban sekali gerakannya, karena
sedang menderita sakit. Tampak daging punggungnya
seperti bekas tercabik, dari tengah belakang hingga
kebagian rusuknya.
“Aduh kasihan....,”
Mah Bongsung menggeleng-geleng. “Namanya
saja mahluk bernyawa. Bila seekor ular sekalipun
dia tahu juga merasakan pedih perih. Tentu ular
itu patut ku tolong,“ pikir gadis pengambil
upah menumbuk padi, dan pencuci pakaian anak orang-orang
kaya di kampungnya itu.
Setelah di perhatikan, ular itu menjulur-julurkan
lidah dan mengangkat-angkat kepalanya, maka oleh
Mah Bongsu kemudian dibawa pulang kerumah, untuk
dirawat dan diobati seperlunya sampai sembuh.
Selama berpekan-pekan ular yang luka itu diobati
Mah Bongsu di pondoknya. Tubuh ular itu pun berangsur-angsur
sembuh, dan badannya kian membesar juga. Setiap
kali bertambah besar, kulit ular itu mengelupas
sedikit demi sedikit. Terlepas sepenggal-sepenggal
setiap malam.
“Syukur, akhirnya engkau
sembuh juga,” kata Mah Bongsu seraya
memungut kulit ular terkelupas itu, lalu membakarnya.
Asapnya mengepul-ngepul, condong kian kemari mengikut
arah tiupan angin. Sungguh menakjubkan, bila asap
itu condong ke Pulau Jawa, serta merta di pondok
Mah Bogsu bertumpuk-tumpuk kain batik solo yang
jumlahnya sampai berkodi kodi. Tatkala asap sisik
ular itu condong ke negeri Tiongkok maka melayang-layanglah
sutra cina, masuk keruang rumah pondok Mah Bongsu
hingga berlimpah ruah. Bila condong ke India asap
sisik ular yang dibakar itu, melayang-layanglah
berpuluh kodi tikar permadani. Begitu juga emas-perak
dan uang ringgit jatuh bagaikan tercurah dari langit,
bila asap itu condong ke Singapura.
Dalam tempo sebulan-dua saja, Mah bongsu menjadi
kaya raya dan terkenal pula sebagai anak gadis dermawan.
Orang kaya sangat suka menolong orang kesusahan
dalam kampung, amat pemurah senang bersedekah. Karena
itu banyak yang bersyukur, memuji-muji Mah Bongsu.
Namun, lain halnya Mak Piah dan Siti Mayang anak
gadisnya. Majikan Mah Bongsu ini merasa disaingi.
Oleh karena itu Mak Piah suka mengintip-intip, apa
sebenarnya membuat kaya raya bekas orang upahannya
itu.
Suatu malam, Mak Piah mengintip dari celah dinding
rumah pondok kediaman Mah Bongsu.
“Iiiih... ada ular sebesar
betis,” pikir Mak Piah. “O...ya,
dari sisik ular yang dibakar, mendatangkan harta
karun? Yah, baiklah kucari juga ular sebesar itu
untuk teman tidur Siti Mayang....,“
kata perempuan kaya bekas majikan Mah Bongsu itu.
Ia pun bergegas masuk kehutan, ingin menangkap ular
seperti peliharaan Mah Bongsu juga.
“Nah, kini ular bertuah
itu ku dapati juga,“ pikir Mak Piah
seraya menangkap seekor ular sedang tertidur. Ular
sebesar lengan itu ia masukkan kedalam karung goni,
lalau lekas-lekas ia bawa pulang kerumahnya.
Seperti tidak sabar lagi menjadi orang kaya untuk
menandingi kekayaan Mah Bongsu, ular yang baru ditangkap
itu pun dimasukkan ke kamar tidur Siti Mayang.
“Ehm...kan ? Anak gadisku
pun punya ular...heh-heh..Siti Mayang akan kaya
raya...ehm, kami akan kaya-raya...,“
Mak Piah tertawa-tawa sendirian, memainkan angan-angannya.
“Mak....ular melilitku,
Mak....,” tiba-tiba Siti Maya merintih-rintih.
“Ular mematuk-matuk tubuhku...Mak
dipatuknya Siti, Mak.....”
“Siti...Siti...sakit sedikit-sedikit
tahanlah......!” sahut Mak Piah, sambil
tersenyum-senyum. Ia membayangkan, esok Siti Mayang
menjadi orang kaya.
Luka di tubuh ular Mak Bongsu pun telah sembuh.Sementara
itu, Mah Bongsu pun sudah menjadi seorang dermawan
muda yang cukup terkenal.
“Cuma rumah gedung tiang
berjenjang, belum dimilikinya,” pikir
ular sudah sebesar pohon kelapa itu. “Ehm,baiklah
rumah gedung kediaman Mah Bongsu segera akan dibangun,”
kata ular peliharaan Mah Bongsu itu dalam hati.
Ketika itu, Mah Bongsu sendiri belum mengetahui
apa yang dipikirkan oleh ular peliharaannya itu.
Malam itu, sebagaimana lazimnya, ia menghidangkan
makanan malam untuk ularnya saja.
“Ssst...jangan terkejut
Mah Bongsu,” bisik ular itu seraya
mendongak. “Malam ini
juga antar aku ke sungai tempat kita bertemu...yah,
antar aku kesana!” kata ular yang ternyata
pandai bercakap-cakap seperti manusia itu.
“Antar aku.... ke sungai
tu...”
“Waw!” Mah
Bongsu tertegun, “Engkau
pandai berkata-kata ularku? Ayo....marilah engkau
ku antar kesungai tempat kita bertemu setahun yang
lalu, ehm... kalau sudah begitu kehendakmu,“
kata gadis yatim piatu yang telah menjadi dermawan
muda itu seraya menuntun ularnya keluar rumah, langsung
ke sungai.
“Mah Bongsu,”
bisik ular itu setelah berada di sungai. “Budimu
belum dapat kubalas dengan setimpal. Belum seimbang...karena
aku berhutang nyawa......”
'Hai, ularku...bukankah kekayaanku
sudah berlimpah, semua darimu!”
“Ya, tapi nilai kasih
sayang belum kuberikan.....maaf, semoga Mah Bongsu
sudi. Aku melamarmu, untuk kujadikan istriku yang
sah!” kata ular itu seraya menanggalkan
seluruh sisiknya, dan segera menjelma menjadi seorang
pemuda berwajah tampan, secara menakjubkan.
Sisik ular sakti itu pun terkembang menjadi sebuah
rumah gedung. Cukup megah bangunannya, tertegak
dihalaman pondok kediaman Mah Bongsu yang konon
ketiban rezeki tersebut. Selanjutnya, tempat itu
dinamai Desa Tibanasal dari kata ketiban. Artinya,
kejatuhan keberuntungan, beroleh kebahagiaan.
Alkisah pula, besok harinya tergelarlah suatu pesta
yang meriah di rumah gedung yang megah itu. Jamuan
orang sekampung merayakan hari pernikahan Mah Bongsu
dengan pemuda tampan itu, berpengiring beratus-ratus
orang. Entah darimana datangnya orang itu, tidak
seorangpun tahu.
Sementara keluarga Mak Piah yang rakus, sibuk mengurus
kematian Siti Mayang secara menyedihkan. Anak gadis
itu mati dipetuk ular berbisa yang diangkut kerumah
oleh Mak Piah ibunya sendiri. |
|
|
|
|
|