|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Legenda Pulau Kapal - Sumatra Selatan |
|
Legenda Pulau Kapal
- Sumatra Selatan |
|
|
|
Cerita ini berasal dari Belitung.
Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal
di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut
sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan
maupun buah-buahan yang dalam hutan. Hasil pencahariannya
dijual di pasar.
Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki
bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang
tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun
mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa
menderita.
Suatu ketika, ayah Si Kulup pergi ke hutan untuk
mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan
sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung,
terlihatlah oleh ayahnya Si Kulup sebatang tongkat
yang berada pada rumpun bambu. Pak Kulup demikian
orang menyebut ayah Si Kulup mengamati tongkat tersebut.
Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah
diperhatikan betul tongkat tersebut bertabur dengan
intan permata, dan merah delima. Akhirnya tongkat
itu diambilnya.
Pak Kulup berucap dalam hati karena gembiranya:
“Ini pertanda baik! Apakah
ini tongkat Nabi Sulaiman atau harta karun? Aduhai….
Saya jadi kaya mendadak sekarang ini.”
Rebung tidak jadi dibawa pulang. Pak Kulup dengan
perasaan was-was, takut membawa tongkat pulang ke
rumah. Sesampai di rumah, didapatinya Si Kulup sedang
tiduran sedang istrinya berada di rumah tetangga.
Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tapi pemuda itu
tidak mau. Ia baru saja pulang mendorong kereta.
Badannya masih terasa lelah. Ia tidak tahu bahwa
ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.
Pak Kulup pergi menyusul istrinya yang sedang bertandang
di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat
asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah,
mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan
tadi siang.
Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan
saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup
menjawab: “Mau disimpan
di mana. Kita tidak punya almari.”
Kemudian Si Kulup pun usul: “Lebih
baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.”
Akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menjual
tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual
tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi
meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat
itupun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.
Setelah Si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang
ke rumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di rantauan.
Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar
paling kaya di negeri tersebut.
Si Kulup sudah beristri. Mereka hidup serba berlebihan.
Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang
menyuruh menjual tongkat.
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dirantau, oleh
mertuanya si Kulup disuruh berdagang ke negeri lain
bersama istrinya. Si Kulup lalu membeli sebuah kapal
besar. Ia juga menyiapkan anak buahnya yang diajak
serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada
orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil
mengembangkan dagangannya.
Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya.
Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung
halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk
mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena
suara dari binatang perbekalannya, seperti ayam,
itik, angsa, burung.
Kedatangan Si Kulup di desanya terdengar oleh kedua
orang tuanya. Sangatlah rindu kedua orang tuanya,
terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan
kesukaan si Kulup seperti : ketupat, rebung, belut
panggang dan sebagainya. Kedua orang tuanya datang
di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.
Sesampainya di kapal kedua orang tua itu mencari
anaknya Si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar
kaya melihat kedua orang tuanya merasa malu, maka
diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang
dibawa oleh emaknya pun dibuang. Saudagar kaya itu
marah sambil berucap “Pergi!
Lekas pergi. Aku tidak
punya orang tua seperti kalian. Jangan kotori tempatku
ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu.
Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti
kau. Enyahlah, engkau dari sini!”
Pak Kulup dan istrinya merasa terhina sekali. Mereka
cepat-cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya
bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang
mereka terima hanyalah umpatan caci maki dari anak
kandungnya sendiri.
Setibanya di darat, emak Si Kulup tidak dapat menahan
amarahnya. Ia benar-benar terpukul hatinya melihat
peristiwa tadi. Ia berucap “Kalau
saudagar itu benar-benar anakku Si Kulup dan kini
tidak mau mengaku kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan
kapal besar itu karam.”
Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak Si Kulup
pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa
lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba
gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar
kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke
kiri, menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada
seluruh penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik,
semua penumpangnya tewas seketika.
Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal
besar itu, muncul sebuah pulau yang menyerupai kapal.
Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatang
bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau
itu dinamakan “Pulau Kapal”. |
|
|
|
|
|