|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Mahaguru Kucing |
|
Mahaguru Kucing |
|
Menurut cerita, zaman dahulu ketika
para binatang dapat berbicara, ada cerita menarik
tentang kucing yang menjadi guru. Kucing adalah
salah satu guru yang disegani oleh binatang lain.
Kepandaiannya dan kebijaksanaannya serta keadilannya,
membuat banyak binatang lain menaruh hormat kepada
kucing.
Makin hari semakin meluas berita tentang terkenalnya
kucing sebagai guru yang bisa menjawab permintaan
para murid-murid yang belajar padanya akhirnya sang
kucing mendapat julukan sebagai guru besar.
Di antara sekian banyak murid, harimau dan singa
adalah salah salah seorang murid yang cerdas. Dia
ingin belajar memanjat pohon dari sang guru besar
itu.
Mendengar permintaan muridnya itu sang Kucing menerangkan
panjang lebar tentang cara memanjat pohon.
Kemudian ia mulai berpikir, karena kucing harus
lebih pintar dari harimau maupun binatang yang lain,
mulailah berniat tidak baik. Diam-diam Kucing tidak
mau menurunkan ilmu memanjat itu. Kucing ingin supaya
ilmu itu menjadi miliknya sendiri.
Ia tidak ingin ilmu itu dimiliki oleh binatang selain
dirinya. Kucing berusaha mengulur waktu dan berharap
para binatang meminta pelajaran cara memanjat pohon
itu melupakannya. Kucing tidak bosan-bosan mengajari
cara bermain-main maupun menerkam yang indah dan
lain sebagainya.
Khusus kepada harimau dan singa, kucing mengajari
cara berenang di air yang arusnya deras. Kucing
berharap kedua muridnya yang cerdas itu tidak lagi
menuntut ilmu memanjat pohon.
“Hehehe......kalian senang
ya bisa berenang” kata kucing.
“Benar guru.......”
jawab singa dan harimau.
Pada suatu hari Harimau sudah tidak sabar ingin
diberi ilmu memanjat pohon. Pagi-pagi sekali ia
menemui kucing. Kucing pun masih berusaha menunda
lagi dengan menghiburnya.
“Akan kau gunakan sebagai
apa ilmu itu” tanya kucing.
“Ya sebagai bekal”,
jawab harimau dengan sedikit menutupi agar ia disangka
binatang yang baik hati pada sesama binatang.
Kucing pun melanjutkan perkataannya dengan suara
yang agak pelan dan berwibawa, “ilmu
itu tak cukup hanya sebagai bekal saja”.
Harimau agak gelisah. Rupanya sang Guru Besar itu
sangat keberatan menurunkan ilmu itu kepadanya.
Ia berusaha menambahkan uraian jawaban yang lebih
baik lagi dan masuk di akal.
“Ya untuk dimanfaatkan”,
ujar sang harimau.
“Manfaat untuk apa?”
tanya kucing berusaha mendebat agar dengan kesalahan
jawabannya harimau, ia bisa menggagalkan menurunkan
ilmu itu kepadanya tanpa sungkan-sungkan.
“Apa saja”,
harimau menjawab singkat.
Kucing menambahkan lagi, “Manfaat
itu ada dua. Ada manfaat baik dan ada manfaat buruk.
Kalau manfaat buruk berarti tidak baik, dan kalau
manfaat baik, itu pasti terpuji”.
“Lalu kau akan memilih
jawaban yang mana?” lanjut si kucing.
Harimau menggerutu dalam hati. Pikirannya mulai
tidak tenang.
“Guru mau menurunkan ilmu
itu atau tidak?” tanya harimau.
Kucing tersenyum. “Kalau
aku tidak mau bagaimana?” tanya si
kucing.
“Jangan menyesal apabila
saya bertindak kasar”, kata harimau.
“Apa? kamu mau melawan
guru”, tanya kucing. Ia sadar ia tidak
mampu melawan harimau.
“Kau tidak takut kena
bencana?” gertak kucing.
“Tidak”,
kata harimau.
“Saya tidak mau menurunkan
ilmu itu kepadamu” kucing meninggalkan
harimau. Harimau terperanjat mendengar jawaban itu.
Mendengar keputusan sang guru, sang harimau sangat
marah bukan main.
“Hem, betul dugaanku,
guru punya niat tidak baik”.
“Aku gurumu, aku tahu
apa yang terbaik bagimu. Dan kurasa kau memang tidak
perlu belajar memanjat pohon!” kata
kucing sambil berlari.
“Akan kukejar kemanapun
guru berlari”.
“Coba saja kalau bisa!”
tantang kucing sambil mempercepat larinya.
Harimau yang merasa dikibuli jadi makin marah. Ia
juga mempercepat langkahnya.
Karena harimau tubuhnya lebih besar dalam tempo
singkat ia mampu mengejar kucing.
Sial bagi sang kucing karena badannya lebih kecil
sehingga langkah kucing sangat pendek. Berkali-kali
ia nyaris diterkam harimau. Kucing mulai gentar
menyikapi harimau yang kian beringas itu.
Untunglah nasib sang kucing lebih pintar dalam menggunakan
ilmunya. Ia juga berpikir lebih baik sering menukik
dengan belok tajam daripada berpacu dengan sang
harimau yang sering kebablasan jauh dalam mengejarnya.
kenyataannya kelihatan ia bergerak lebih gesit dari
harimau walau dengan langkahnya yang pendek itu.
Saat itu kucing merasa aman karena di depannya ada
pohon.
Tapi sangat sulit baginya untuk langsung mencapai
pohon itu. Jika ia langsung menuju pohon itu maka
ia akan dilahap harimau mentah-mentah.
Ia tetap memakai cara lari dengan menukik-nukik
belok tajam sambil mengalihkan perhatian kebuasan
harimau.
Ternyata benar. Harimau takjub dengan kelincahan
sang kucing dan tidak menyadari bahwa ada pohon
didepannya. Hal itu karena ia konsentrasi memburu
dengan membabi buta agar secepatnya bisa memaksa
kucing belaka.
Adapun bagi harimau, dia tetap merasa untung dengan
ada tambahan ilmu tentang cara berlari dengan cara
belok menukik tajam.
Kucing yang selama itu hanya menyiasati perhatian
agar bisa mencapai pohon ia menciptakan langkah
semakin indah.
Sementara sekali ada kesempatan maka segera kucing
melompat dengan gesitnya merayap di pohon yang ada
di depannya. Harimau memandanginya dari jauh.
Harimau sangat terpesona melihat kelincahan sang
gurunya memanjat pohon itu. Langkah itu indah sekali.
Langkah itu langkah yang ia impikan.
Ia menyadari ilmu memanjat pohon itulah yang ingin
ia miliki dari sang guru besar. Akan tetapi sang
guru kini sudah tidak percaya lagi kepadanya.
Pada mulanya harimau khawatir jangan-jangan sang
guru hanya menipu bahwa ia mempunyai ilmu cara memanjat
pohon. Dan kini ilmu itu ia saksikan di depan matanya
sendiri.
Setelah harimau tahu, ia hanya tercengang, ternyata
gurunya tidak berdusta. Mungkin gurunya hanya menguji
dengan kata-kata itu. Langkah itu benar-benar langkah
yang menakjubkan.
Ia tergiur dan menyesal telah memaksa gurunya, akan
tetapi bagaimana lagi kalau nasi sudah menjadi bubur,
mustahil sang guru bisa mengampuni kesalahannya
tadi.
Sambil ia terpesona campur kagum, pelan-pelan ia
mulai marah pada dirinya sendiri.
Akhirnya ia marah besar. Kini perasaan dendam harimau
tidak bisa dibendung lagi sehingga ia bersumpah
akan membunuh gurunya.
Apabila ia tidak bisa membunuh gurunya maka kotorannya
pun akan ia makan agar ia bisa mempunyai ilmu memanjat
pohon seperti gurunya itu.
Mendengar sumpah harimau, kucing malah tidak berani
turun dari pohon itu. Dari situ pula kucing tidak
dapat menjadi guru lagi. Dia harus berhati-hati
sebab ia tahu betul sifat harimau dan perangainya.
Dengan hati-hati pula akhirnya sang kucing dapat
turun dari pohon itu. Ia meneruskan perjalanannya
di tempat-tempat yang agak jauh dari harimau. Ia
terus mencari tempat yang aman baginya.
Akhirnya sampai sekarang dapat dilihat, jika kucing
buang air besar, kotorannya selalu ditimbun atau
ditutupi dengan tanah agar tidak dapat dilihat oleh
harimau. |
|
|
|
|
|