|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Mencari Batu Benih - Nusa Tenggara Timur |
|
Mencari Batu Benih
- Nusa Tenggara Timur |
|
Di suatu pagi yang cerah seorang
petani memeriksa kebunnya. Namun betapa terkejutnya
petani itu ketika melihat kebunnya telah diobrak-abrik
kawanan babi hutan, yang membuat petani itu merasa
heran pagar kokoh dan tinggi yang melindungi kebun
itu tak mengalami kerusakan apapun. Hal itu membuat
hati petani itu penasaran. Ia belum merasa yakin
bahwa kawanan babi yang merusak kebunnya.
Oleh karena itu ia memutuskan untuk menjaga kebunnya
secara serius.
Sejak malam itu ia tinggal di kebunnya. Ia mengawasinya
dari atas pohon. Petani itu membawa senjata tombak
sakti yang bernama Numbu Ranggata dan sebilah parang
yang sangat tajam. Pada malam ketiga dari kejauhan
petani itu mendengar suara kawanan babi yang datang
menuju kebunnya.
Ketika kawanan babi itu mulai memakan umbi-umbi
keladi persis di bawah pohon yang ia tempati dengan
hati-hati petani itu melemparkan tombaknya dan tepat
mengenai babi yang paling besar. Tombak itu mengenai
sisi perut sebelah kanan dan tetap tertancap bersama
menghilangnya kawanan babi itu.
Pagi harinya petani itu menyusuri jejak darah yang
tercecer sampai ke tepi pantai. Ternyata ceceran
darah itu hilang sampai di ujung air laut. Timbul
keresahan dalam hati petani itu. Tombak keramat
yang ia gunakan untuk menikam babi itu adalah milik
pamannya. Sementara itu, ia merasa heran mengapa
babi-babi itu seolah-olah menghilang di tepi pantai.
Pada suatu saat petani itu masih termanggu-manggu,
muncullah dari dalam air laut seekor penyu raksasa.
“Mengapa kau termenung
Saudaraku…?” Tanya penyu itu
yang dapat berbicara bahasa manusia.
Petani itu menjadi terkejut, namun kemudian ia menjawab
“Aku menghadapi suatu
masalah. Antara terus menelusuri jejak percikan
darah babi yang kutombak atau kembali dengan resiko
dikutuk leluhur karena tombakku hilang bersama babi
yang tertikam.”
“Oo, demikian persoalannya.
Jika begitu kau harus memperoleh keduanya, babi
dan tombakmu,” kata penyu.
Si petani pun kemudian meminta bantuan penyu untuk
mencari babi yang terluka itu. Dan dengan senang
hati penyu bersedia membantu. Dengan menunggang
punggung penyu petani itu menyebrang laut. Setelah
dua hari, dua malam, mereka akhirnya sampai di daratan
pulau seberang.
Sebelum berpisah, si penyu berpesan, “Aku
tetap setia pada persahabatan kita ini. Kapan saja
kamu membutuhkan pertolongan, dengan ikhlas hati
aku akan menolongmu.”
Di pantai yang baru, si petani itu menemukan sebuah
pondok. Dalam pondok itu tinggallah seorang nenek.
Dari keterangan nenek itu ia mengetahui bahwa babi
yang dicari sesungguhnya adalah babi jadi-jadian.
“Mereka adalah sekelompok
manusia yang mempunyai ilmu gaib dan mempunyai tiga
buah batu ajaib yang bernama Watu Maladong. Dari
batu-batu itu bersumber kekuatan untuk menciptakan
air dan menghasilkan tiga jenis bahan makanan berupa
padi, jagung dan jewawut,” kata nenek
itu.
Kemudian ia melatih si petani dengan beberapa jurus
ilmu kesaktian.
Dengan bekal beberapa petunjuk dan nasihat yang
disampaikan nenek itu, kemudian si petani pergi
menuju perkampungan sesuai petunjuk yang diberikan
kepadanya.
Ternyata petani itu dapat diterima oleh warga perkampungan
itu. Ia pun telah mendapat pekerjaan. Pada malam
yang ketiga, petani itu mendengar percakapan dari
majikan tempat ia bekerja, bahwa pimpinan suku mereka
sedang menderita penyakit perut yang parah.
Mendengar percakapan itu, si petani memberanikan
diri untuk mencoba mengobati penyakit Kepala Suku.
Keesokan harinya, ia diperkenalkan oleh majikannya
kepada keluarga Kepala Suku. Kemudian ia juga diijinkan
untuk memeriksa kepala suku. Kemudian ia juga diijinkan
untuk memeriksa kepala suku itu.
“Apakah Bapak tertikam
oleh sebilah tombak?” Tanya petani
kepada Kepala Suku itu.
Pertanyaan itu menimbulkan rasa heran Kepala Suku.
Petani itu dianggap berbeda dengan dukun-dukun yang
lain, selalu salah dalam menganalisa penyakitnya.
Berdasarkan kepercayaan itu, Kepala Suku kemudian
menceritakan mengapa perutnya menjadi sakit.
“Jika kamu mengobatiku,
dan nanti aku menjadi sembuh, aku berjanji akan
mengabulkan semua permintaanmu,” kata
Kepala Suku itu.
"Penyakit Bapak bisa disembuhkan,
yang penting saya harus mencabut tombak itu. Dan
tombak itu harus dibuang ke laut lepas. Setelah
itu, baru diobati dengan ramuan daun-daunan yang
tumbuh di pesisir pantai,” kata petani
mencoba meyakinkan.
Kepala Suku dengan keluarganya menyetujui usul petani
itu. Oleh karenanya, keesokan harinya si petani
ke pesisir pantai. Ia menceritakan apa yang dialaminya
kepada si nenek, dan ia juga meminta saran kira-kira
ramuan apa yang cocok untuk menyembuhkan luka kepala
suku itu.
Nenek itu menasehati si petani agar membuat tombak
tiruan dari bambu. Tombak itulah yang nantinya di
buang ke laut. Masalah ramuan, tidak ada persoalan.
Si petani bisa mengambil ramuan yang telah ia buat.
Setelah persiapannya matang, si petani kembali ke
perkampungan Kepala Suku yang sakit itu. Berdasarkan
saran si nenek, ia pun menggosok ramuan penahan
sakit pada perut si Kepala Suku, kemudian ia memanaskan
pisau kecilnya. Setelah itu, dengan hati-hati ia
membedah perut sang Kepala Suku.
Seminggu kemudian penyakit sang Kepala Suku sembuh.
Seluruh warga perkampungan berunding untuk membalas
budi si petani. Dalam pertemuan itu, ada yang mengusulkan
agar si petani diberikan sejumlah harta berupa perhiasan
emas, hewan-hewan dan sebidang tanah yang luas.
Melalui majikannya, si petani itu tahu bahwa warga
perkampungan akan membalas budinya yang telah menyembuhkan
kepala suku mereka. Ia akan memperoleh sejumlah
batang emas dan harta lain.
Mendengar itu, si petani teringat pesan si nenek
tentang keajaiban tiga batu keramat milik suku dari
perkampungan itu. Melalui majikannya ia mengatakan,
”Kalau memang ingin membalas
kebaikan saya, saya akan meminta bibit padi, jagung
dan jewawut.”
Permintaan yang tidak disangka-sangka ini menimbulkan
rasa curiga dari sang Kepala Suku terhadap sang
petani Sumba itu. Sang Kepala Suku bertanya, ”Apakah
bibit padi, jagung dan jewawut dalam arti yang sebenarnya,
atau dalam arti kiasan?”
“Kalau Bapak berkenan,
kiranya saya dapat memperoleh bibit-bibit itu dalam
arti yang kedua,” jawab si petani.
“Permintaanmu amat berat.
Izinkanlah saya untuk berunding dengan seluruh warga
suku saya. Hasil keputusannya nanti saya sampaikan.
Mungkin akan ada persyaratan yang harus kamu penuhi
sebelum kamu memperoleh batu pusaka kami yang kami
sebut Watu Maladong.”
“Apapun persyaratannya,
saya berusaha memenuhinya. Saya ingin daerah kami
mempunyai sumber air yang cukup dan bahan makanan
yang baru, seperti padi, jagung dan jewawut.”
Akhirnya, seluruh warga perkampungan itu menyetujui
permintaan si petani. Dengan syarat, si petani harus
terlebih dahulu mengadu kesaktian antar suku.
Setelah mendengar persyaratan itu, si petani segera
kembali ke tepi pantai menemui nenek yang baik budi.
Ia menceritakan bahwa Watu Maladong hanya mungkin
diboyong setelah diadakan adu kesaktian.
Nenek itu mengatakan, “Puncak
kesaktian mereka adalah mampu mengguncangkan bumi.
Cara menjinakkan kekuatan itu adalah berusaha menyatu
bersama kekuatan bumi dengan posisi berbaring di
tanah. Tidak usah cemas terhadap guncangan itu.”
kata si nenek.
“Namun,”
lanjut nenek, “Sebelum
kamu bertanding, sebaiknya kamu kembali ke tanah
Sumba. Ceritakanlah semua kepada pamanmu. Mintalah
kepadanya tenaga sakti yang terkandung dalam tombak
pusaka itu. Karena sampai sekarang, hanya tombak
saktimu itu yang bisa melukai dan hampir merenggut
napas sang Kepala Suku yang engkau obati itu.”
Dengan bantuan penyu, si petani itu kembali ke daratan
Sumba. Ia menemui pamannya dan menceritakan semua
yang dialami. Ia juga meminta pamannya untuk mengalihkan
tenaga sakti Tombak Numbu Ranggata ke dalam dirinya.
Pamannya tidak berkeberatan. Atas restu Ina Magholo
Ama Marawi (yang diyakini sebagai Ibu Pencipta-Bapak
Pembuat) dan sumber kekuatan langit dalam wujud
Guntur-Kilat, si petani diberikan tenaga sakti dari
Tombak Numbu Ranggata.
Setelah semuanya disiapkan, kembalilah si petani
ke daerah seberang. Dengan kekuatan yang ada, si
petani menuju perkampungan sang Kepala Suku. Ia
langsung menuju rumah adat yang didiami sang Kepala
Suku. Setelah berunding dengan sang Kepala Suku,
mereka memutuskan untuk adu kesaktian pada hari
yang ketiga pada saat matahari terbenam. Acara itu
dilangsungkan disebuah lapangan rumput di luar kampung.
Pada hari yang ditentukan, dengan diterangi oleh
api unggun di keempat penjuru mata angin, terjadilah
pertarungan tenaga sakti antara si petani dan panglima
perang dari suku itu.
Panglima perang diberi kesempatan terlebih dahulu
untuk menyerang. Si petani memperhatikan setiap
gerak-geriknya. Rupanya ia langsung menggunakan
jurus pamungkas khas dari suku itu yaitu jurus mengguncang
bumi. Si petani segera menjatuhkan tubuhnya ke bumi.
Ia menyatu dengan bumi dalam posisi telentang. Si
petani merasa tanah seolah terbelah. Tubuhnya pelan-pelan
mulai terbenam. Kepalanya terasa pusing dan perutnya
mual akibat guncangan yang dahsyat itu. Timbul rasa
takut dalam dirinya. Setelah setengan jam si petani
merasakan guncangan bumi mulai melemah. Napasnya
kembali normal, rasa pusing dan mualnya mulai menghilang.
Ia bangun dan berdiri dengan tegar, tak kurang suatu
apa.
Kini tiba gilirannya untuk menunjukkan kesaktiannya.
Ia memusatkan perhatian pada Ina Magholo-Ama Marawi
dalam wujud Guntur-Kilat. Tiba-tiba terdengar bunyi
guntur samudera dan sambaran kilat yang menyilaukan
mata. Detik berikutnya terdengar pula teriakan memilukan
dari lawannya. Lawannya hangus disambar kilat.
Seluruh warga perkampungan tanah seberang mengakui
keunggulan si petani Sumba. Begitu pun sang Kepala
Sukunya. Sesuai dengan kesepakatan, si petani berhak
membawa Watu Maladong. Keesokan harinya, ketiga
batu yang bernama Watu Maladong itu diserahkan secara
resmi melalui sebuah upacara adapt.
Kepala Suku berkata, “Batu
ini ada tiga buah. Dua buah berjenis kelamin pria
yang yang akan mencurahkan sumber makanan berupa
padi dan jagung. Satunya berjenis kelamin wanita
yang akan mencurahkan sumber makanan berupa jewawut.
Ketiga batu ini dapat bergerak sendiri. Ia akan
mengikuti kepada siapa yang ia layani, kemunculannya
diatas permukaan tanah Sumba kelak akan menyemburkan
sumber air tanah yang tak akan pernah berkesudahan.”
Sesuatu yang menakjubkan terjadi. Watu Maladong
menjadi ringan di tangan si petani. Sesuatu yang
mengisyaratkan bahwa Watu Maladong siap untuk melayani
kebutuhan majikannya yang baru. Akhirnya, Watu Maladong
diboyong ke tanah Sumba, khususnya ke wilayah Sumba
Barat, tempat asal si petani. Setelah berpamitan
dengan nenek yang baik budi, Watu Maladong dibiarkan
untuk berjalan sendiri mengikuti dia ke bibir pantai.
Timbul kesulitan bagaimana membawa ketiga batu itu
dalam posisinya diatas punggung penyu yang harus
berpegang erat. Ia pun meminta ketiga batu menempuh
jalan bawah laut. Ketiga batu itu pun pelan-pelan
terbenam ke bumi dan melenyap.
Ketiga batu itu tiba lebih dahulu dari si petani
di pantai Sumba Barat yang dewasa ini terletak di
pantai Katawel. Atas permintaan si petani, ketiga
batu segera menjelajahi wilayah baru itu untuk pengadaan
sumber air.
Mata air pertama adalah mata air Nyura Lele di wilayah
Tambolaka. Mata air kedua adalah mata air Weetebula
di wilayah Weetebula, kemudian mata air Wee Muu
yang dewasa ini terletak di perbatasan daerah Wewewa
Barat dan Wewewa Timur. Mata air yang keempat adalah
air Weekello Sawah di bentuknya bagaikan mulut seekor
ular naga. Semburan air yang jernih itu bagaikan
juluran lidah yang bercahaya.
Si petani sakti itu merasa cukup untuk pengadaan
sumber air, ia pun meminta ketiga batu kembali.
Ketiga batu itu kemudian menelusuri Pegunungan Yawilla
kembali ke Wewewa Barat melalui Sungai Paerdawa
yang bersumber dari mata air Weekello Sawah dan
bermuara di Tanjung Karoso di daerah Bondo Kodi.
Di daerah ini ketiga batu itu melepaskan lelah.
Ketiga batu itu memilih untuk menetap di wilayah
ini. Batu yang menganugerahkan bibit jagung tinggal
di darat, sedangkan dua batu yang lain, yang menganugerahkan
bibit padi dan jewawut memilih tinggal di Samudera
Hindia. |
|
|
|
|
|