Di Minahasa, ada seorang lelaki
bernama Wuwung Sewe. Ia hidup sebagai nelayan.
Oleh karena itu, ia sering ke sungai ataupun ke
pantai. Di sungai dan pantai itulah ia memperoleh
kebutuhan hidupnya.
Air membekali hidupnya dengan sumber pangan dan
alat pengangkutan. Akan tetapi, sungai dan pantai
kadang membahayakan bahkan mengancam kehidupan
manusia. Suatu waktu laut bisa meluap dan sungai
bisa membawa banjir.
Pada suatu hari, Wuwung Sewe turun ke muara sungai
untuk memancing. Cuaca saat itu mendung, dan puncak
gunung sudah bertudungkan awan. Namun, niatnya
tetap teguh untuk mencari nafkah. Kail, umpan,
parang, dan tempat ikan telah disiapkannya. Setelah
siap semua, perjalanan pun dimulai.
Sepanjang perjalanan, Wuwung Sewe berpikir tentang
ikan-ikan yang akan dikailnya. Ia mengetahui bahwa
di dalam muara sungai terdapat banyak ikan air
payau seperti kakap bergaris, udang, dan kepiting.
Kira-kira dua jam Wuwung Sewe mengail dengan umpan
bagus, cacing agak besar, tetapi tidak berhasil.
Rasa bosan mulai berkecamuk dalam dirinya. Apalagi
hujan rintik-rintik mulai terasa. Ia enggan pulang
sebelum mendapatkan ikan untuk dibawa pulang ke
rumah.
“Lebih baik aku pindah
ke hilir,” pikir Wuwung Sewe. Hilir
sungai biasanya berair keruh dan berlumpur karena
ada lanau (butiran pasir).
Wuwung Sewe mulai beranjak ke hilir dengan menyusuri
buluh-buluh tui (buluh kecil)
yang tumbuh disepanjang hilir sungai itu. Akhirnya,
ia tiba di suatu tempat yang nyaman dan terlindung.
Rumpun buluh tui melindungi tubuhnya dari rintik
hujan. Pekerjaan mengail pun dilanjutkan dengan
harapan akan mendapat banyak ikan.
Tiba-tiba Wuwung Sewe melihat serumpun kecil buluh
tui terapung di atas permukaan air menuju laut.
Ia mengira itu rumpun buluh yang tumbuh di tepi
sungai. Biasanya aliran ke hilir sungai makin
lebar dan makin lambat. Semakin lama semakin dekat
saja rumpun buluh itu.
“Ah, mungkin itu hanya
tanah longsor yang akan dihanyutkan ke laut menyusuri
pantai karena banyak hujan,” pikir
Wuwung Sewe.
Setelah diperhatikan dengan sungguh-sungguh, ternyata
ada yang mendekati rumpun bulu tui. Air dalam
keadaan tenang dan mengalir di depannya.
Tiba-tiba di hadapan Wuwung Sewe muncul kepala
seekor buaya yang besar. Rupanya buluh tui itu
tumbuh di atas punggung buaya itu. Wuwung Sewe
segera malarikan diri setelah menarik kail dari
dalam air.
Akan tetapi, buaya itu berkata kepada Wuwung Sewe,
”Hai Sahabat, tolonglah
aku. Di punggungku terdapat banyak duri. Aku sudah
terlalu lama menderita, tetapi tidak ada orang
mau menolongku. Jika kau rela menolongku, tentu
akan ada balasannya. Aku minta agar kau mencabut
duri yang ada di punggungku ini. Duri ini cukup
menggangguku. Aku tidak dapat tidur dengan nyenyak.
Tolonglah aku!”
Wuwung Sewe menjawab dengan gemetar dan takut
karena terkejut, ”Balasan
atas pertolonganku tidak kupikirkan. Hanya saling
menolong yang aku perlukan. Tetapi, aku ingin
tahu mengapa punggungmu dapat ditumbuhi buluh
tui yang sudah serumpun itu?”
Buaya menjawab dengan wajah memelas, “Ini
perbuatan orang di muara Sungai Sungai Ranoyapo
di pantai selatan. Ketika aku dan teman-temanku
berada di tepi sungai mencari makan, aku ditombak
seorang laki-laki dengan tombak buluh tui. Tombak
itu menembus punggungku. Beberapa temanku berusaha
mencabut tombak ini, tetapi tidak berhasil. Malah
semakin lama semakin banyak buluk tui tumbuh di
atas punggungku.”
Setelah mendengar keterangan dan cerita buaya,
timbullah rasa iba Wuwung Sewe. Ia berkata, ”Kalau
demikian, engkau akan kubantu.”
Wuwung Sewe segera meloncat ke atas punggung buaya.
Ia mencabut buluh-buluh tui yang ada di punggung
buaya hingga bersih. Kemudian, diambilnya dedaunan
untuk mengobati bekas luka buluh tui yang ada
di punggung buaya. Buaya merasa senang dan sangat
berterima kasih kepada Wuwung Sewe.
Nama Wuwung Sewe sangat berkesan bagi buaya dan
tetap diingat. Tidak hanya itu, buaya bahkan menyatakan
bahwa mulai saat itu Wuwung Sewe adalah sahabatnya.
Akan tetapi, Wuwung Sewe berkata, “Aku
ingin mengadakan perjanjian denganmu. Sumpah yang
akan berlaku hingga anak cucu kita.”
Buaya bersumpah, “Jika
keluargamu hendak menyeberang sungai, terutama
di daerah muara sungai di mana para buaya berada,
janganlah kamu takut untuk menyeberang. Kamu harus
mencampakkan tiga buah batu ke dalam sungai itu.
Ucapkanlah, 'Kami anak cucu Wuwung Sewe'. Sebagai
tanda pada keluarga buaya, bahwa yang akan menyeberang
adalah keluaga Wuwung Sewe yang sudah menolong
buaya.”
Setelah menyampaikan sumpah dan petunjuk, buaya
langsung pergi sambil! menyelam. Wuwung Sewe merasa
bangga dan senang. Katanya, “Kita
tidak perlu takut lagi kepada buaya sebab buaya
telah berjanji kepadaku.” Pekerjaan
Wuwung Sewe pun dilanjutkan lagi.
|