Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta,
Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra
Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim.
Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi
dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan
untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di
Negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.
“Di Negeri Pasai banyak
orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga
ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam.
Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah
Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya
dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan
agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu
di masa yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden
Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai
keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan
bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung
Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak
bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak
masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian
diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan
pengalamannya di saat berdakwa di Blambangan sehingga
terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat
dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah
itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang telah
disisihkan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu
tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui
lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup
atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negara
asing yang menetap dan membuka pelajaran agama
Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum
Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar sendiri maupun
kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai
ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari
Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tuhan mereka
juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran,
Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri
Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai
kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari
sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu
tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas
dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman.
Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana
A'inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan masa belajar
itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak,
kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke Tanah
Jawa. Oleh Ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan
kain putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya
dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah
sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah
kau membangun Pesantren,” demikian
pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kemudian ke Surabaya melaporkan
segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan
Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di daerah
Tuban. Sedangkan Raden Paku diperintah pulang
ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai
Ageng Pinatih.
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh
ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau
Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterima dengan
senang hati. Nakoda kapal diserahkan kepada pelaut
kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau puncak pimpinan
berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng
Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk
ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan
Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah
dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka
Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan
dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau
Jawa, seperti rotan, damar emas dan lain-lain.
Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi
berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah kapal
merapat dipelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan
barang dagangan dari Gresik itu secara gratis
kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi
cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku,
"Raden......kita pasti
akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa
barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?”
“Jangan kuatir Paman,”
kata Raden Paku. “Tindakan
saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat
ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan
dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlau
banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah
ibu memberikan hartanya dengan memayar zakat kepada
mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya
ibu membayar zakat untuk membersihkan diri.”
“Itu diluar wewenang
saya Raden,“Kata Abu Hurairah. “Jika
kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita
mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak
dan badai?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum
bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan
mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan
dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan
apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau,”
kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya
kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan
batu dan pasir.”
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di
pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati
Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan
meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng
Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu,
mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka
bawa dari Banjar, seperti rotan, dama, kain dan
emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh
lebih besar ketimbang barang dagangan yang disediakan
kepada penduduk Bnjar.
Al-kisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama
Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon
delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya.
Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima
yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka,
kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang
tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku
tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng
Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima
tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala
Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegah Raden
Paku, dan ia berkata, ”Kau
harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengetahui seyembara,
siapa saja yang dapat memetik buah delima itu
dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan
putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku
bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepda Sunan Ampel.
“Tak usah bingung Ki
Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku
yakin Dewi Wardah juga seorang muslim yang baik.
Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul
kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu,“
demikian kata Sunan Ampel.
"Tapi.....bukankah saya
hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu
dengan Dewi Murtasiah?” ujar Raden
Paku.
“Tidak mengapa?”
kata Sunan Ampel. “Sesudah
melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah
selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan
dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku.
Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu
Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng
Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga
sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat
berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar
itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk
setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan
Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan
hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama
Islam dengan mendirikan pondok Pesantren. Ia pun
minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan.
Andaikan hartanya yang banyak itu dimakan setiap
hari dengan anak dan menantunya rasanya tidak
akab habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya
untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya,
maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang
hendak mendirikan pesantren.
Mulai Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi,
40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya
bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur
itu hingga sekarang masih ada yaitu di Desa Kembangan
dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun
berjalan bekeliling untuk mencari daerah yang
tanah mirip dengan tanah yang dibawanya dari Negeri
Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di
darerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya
terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya
dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali.
Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan
pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi
atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukung
spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama,
hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah
terkenal ke seluruh Nusantara.
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo
waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola
Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh
Nusantara.
Menurut Dr. H. J. De Graaf, sesudah pulang dari
pengembaraan-nya atau berguru ke Negeri Pasai,
ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian
berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi
orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan
Giri yang ada. Di ats gunung tersebut seharusnya
ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan
adanya Giri Kedaton (Kerajaan
Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan
dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok,
Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De
Graaf.
Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri
itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru
benua besar, seperti Eropa (Rum),
Arab, Mesir, Cina, dan lain-lain. Semua itu adalah
penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar
yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid
sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya.
Untuk para santri yang datang dari jauh beliau
juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang
dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapat
air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air
itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur
atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya
beliau seorang yang mampu melakukannya.
|