|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Raja Yang Rakus - Kalimantan Selatan |
|
Raja Yang Rakus -
Kalimantan Selatan |
|
Di Kalimantan Selatan, konon pernah
berdiri sebuah kerajaan. Rajanya bernama Sang Hiyang.
Wilayah kekuasaannya cukup luas dan sebagian daerak
kekuasaannya terdiri dari daerah perairan. Sesuai
dengan alam lingkungannya, mata pencaharian penduduk
adalah menangkap ikan di samping bertani.
Meskipun kerajaan terkenal sebagai penghasil ikan,
Sang Raja tidak suka menyantap daging ikan. Hanya
usus ikan yang beliau suka. Setiap kali baginda
bersantap, aneka masakan usus ikan harus terhidang.
Bila tidak, baginda akan marah. Untuk itulah permaisuri
menugaskan seorang juru masak khusus yang sesuai
dengan selera raja.
Suatu waktu, terjadi paceklik ikan. Para nelayan
harus menggayuh jongkong (perahu
kecil dibuat dari batang kayu) setengah lebih
untuk sampai ketempat yang diperkirakan ada ikannya.
Itu pun hasilnya belum memadai. Sulitnya mendapat
ikan berarti kesulitan pula mendapatan usus ikan
kesukaan sang Raja. Baginda sendiri tak mau tahu
akan kesulitan itu. Bagi beliau, usus ikan harus
tersedia bagaimanapun cara untuk mendapatkannya.
Suatu subuh, seperti biasa juru masak membersihkan
usus ikan di rakit kayu yang digunakan sebagai tempat
mandi dan cuci yang biasa didapati di sepanjang
sungai. Malang tak dapat ditolak. Ketika ia mengusir
gigitan nyamuk yang menggigit pangkal lengan kirinya,
gerakan itu tanpa sengaja menyenggol tempat usus
ikan yang sudah dibersihkan. Seluruh isinya tumpah
ke sungai. Arus yang deras mempercepat larutnya
bahan masakan.Juru masak ketakutan karena dia tahu
persediaan makanan telah habis. Sementara waktu
santap raja tak mungkin ditunda.
Hukuman yang akan diterimanya sudah membayang. Sambil
menahan tangis, ia menceritakan peristiwa yang baru
saja terjadi kepada suaminya. Sang suami pun tercenung.
Ia memutar otak. Ia mengingat sesuatu ketika ia
melangkah di tebing sungai. Cepat-cepat ia berbalik
ketempat yang dimaksud.
Tangannya mengais-ngais tanah tepian yang longgar.
Dua atau tiga ekor cacing tanah yang besar-besar
ia raup. Terus saja ia berbuat demikian sampai ia
berhasil mengumpulkan cacing segayung mandi.
“Pulanglah. Dan masaklah
ini sebagaimana biasa!” ujarnya kepada
istrinya. Mula-mula istrinya menolak, namun setelah
diingatkan akan hukuman yang bakal diterima, ia
cepat-cepat kedapur memasak makanan untuk sang Raja.
Santapan pagi untuk sang Raja telah tersedia. Baginda
Sang Hiyang dengan bernafsu menikmati hidangan “usus
ikan” yang rasanya lebih nikmat dari
biasa. Sebagaimana biasa, seusai makan sang Raja
berlelah-lelah duduk di balai perangin-anginan.
Kenikmatan masakan yang dirasakannya berlebih sangat
berkenan dihatinya.
“Punggawa, panggillah
si juru masak!” ujar sang Raja kepada
pengawalnya. Akan halnya si juru masak gemetar seluruh
tubuhnya. Tak pelak lagi sang Raja akan menghukumnya.
Dengan gontai dan ketakutan tak terkira ia datang
juga menghadap Raja.
“Masakanmu pagi ini jauh
lebih enak dari biasa,” puji sang Raja.
Namun, pujian itu bagai godam yang dipalukan kekepalanya.
Hati juru masak bertambah kecut.
“Benarkah apa yang paduka
katakan?” juru masak bertanya dengan
memberanikan diri.
"Seperti itulah. Barang
kali engkau telah menemukan usus ikan jenis tertentu
sehingga berbeda benar resanya,” kata
Raja.
Sejenak si juru masak menjadi bimbang. Haruskah
ia berdusta atau mengatakan yang sebenarnya. Apa
pula nanti hukuman yang diterimanya jika ketahuan
ia telah berani membohongi Raja. Jika nanti usus
ikan yang asli sudah tersedia dan ternyata kenikmatan
yang dirasakan Raja berbeda dengan suguhannya pagi
tadi, apa pula yang harus di ucapkannya? Untuk sebuah
kenikmatan jelas baginda akan terus menuntut.
Akhirnya, si juru masak memutuskan untuk membuat
pengakuan yang sebenarnya. Dengan alasan takut diketahui
pihak lain, si juru masak memohon agar dapat berbicara
cuma berdua saja dengan Raja Sang Hiyang.
Kemudian, si juru masak pun mengatakan yang sejujurnya.
Dia pasrah menerima hukuman. Sang Raja terpana mendengar
pengakuan yang jujur dari juru masaknya. Kertepanaan
sang Raja membuat juru masak menjadi lebih tegang.
“Haaa...haaa...haaaa....
sekantong emas akan kuhadiahkan untukmu,“
kata sang Raja. Si juru masak mendengarnya sebagai:
“ Benang sampai lemas
itu hukumanmu”. Ia pasrah saja. Ia
menanti tubuhnya diikat, diseret kesungai lalu dibenamkan
di dalam air sampai mati. Akan tetapi, ia tak mersa
ada punggawa yang mengikatnya. Apalagi menyeretnya.
Malah suara bongkah logam emas dijatuhkan dihadapannya.
Sang Raja ternyata tidak marah, malah memberinya
hadiah. Sambil memberikan hadiah itu, ia sempat
bertitah agar secara rahasia si juru masak terus
menghidangkan masakan “usus
ikan” yang sangat berkesan di lidah
sang Raja.
Demikianlah tahun berbilang tahun, sang Raja kian
rakus menyantap cacing tanah sebagai makanan paling
nikmat. Si juru masak dan suaminya mendapat kesulitan
untuk mengumpulkan cacing sesuai keperluan santapan
raja. Kesulitan itu dirasakan juga oleh raja cacing
tanah yang melihat rakyatnya terus menerus menjadi
korban kerakusan Raja Sang Hiyang. Raja cacing juga
murka dan menuntut balas. Cacing-cacing yang tersisa
diperintahkan oleh rajanya untuk berkumpul guna
mengadakan pembalasan kepada Raja Sang Hiyang.
Suatu pagi, Sang Hiyang kaget tidak terkira melihat
kumpulan cacing demikian banyak merayap, menggeliat
memenuhi lantai istananya. Sebagian besar dari binatang
itu bergerak dengan lambat tetapi pasti dengan tujuan
singgasana sang Raja.
Anehnya, cuma Raja Sang Hiyang yang menyaksikan
keajaiban itu. Sang Raja berlari kesana kemari seraya
berteriak meminta tolong. Jubah kebesaran telah
di tempeli ribuan ekor cacing. Kamar peraduan telah
pula menjadi sarang cacing yang dingin. Seluruh
ruang istana sepertinya telah menjadi lautan cacing.
Tak ada ruang kosong yang tak diisi cacing.
Menjelang siang, pasukan cacing mengurangi gerakan.
Kebanyakan di antara mereka diam sembunyi ditempat
teduh. Pada saat itulah Raja Sang Hiyang berjingkrat-jingkrat
keluar dari istana. Selangkah, dua langkah, pasukan
cacing masih tak bergerak. Namun, pada langkah kelima
belas, serempak cacing-cacing begerak, bergelombang
mengikuti langkah sang raja sambil mengepung.
Ketakutan sang Raja Sang Hiyang mencapai puncaknya.
Bergegas ia naik Ke atas pohon yang ada di hadapannya.
Dengan susah payah, sampailah ia pada sebuah dahan
yang tidak terlalu tinggi dari tanah. Dari sanalah
ia menyaksikan gumpalan, berupa gerakan pasukan
cacing memusatkan penyerangannya menanti kapan saja
Raja Sang Hiyang turun ke tanah.
Semalam telah berlalu, Pasukan cacing masih menghadang.Tiga
hari tiga malam telah pula dilewati. Onggokan cacing
di sekeliling pohon tempat Sang Hiyang berlindung
telah menyerupai balambika (gundukan
tanah, sarang anai-anai). Kian tinggi dan
kian meninggi. Besok atau lusa tidak mustahil onggokan
itu telah mencapai tempat Raja Sang Hiyang mengamankan
iri.
Ngeri dan ketakutan yang sngat, membuat Raja Sang
Hiyang berbuat nekat. Baju disobek dibuat tali.
Ujungnya diikatkan ke dahan yang lebih atas. Ujung
terbawah diikatkan ke leher.
Esoknya, kerajaan menjadi gempar. Baginda Sang Hiyang
ditemukan menggantung diri di sebatang pohon di
belakang istana.
“Sang Hiyang mati tergantung,”
begitu ujar pengawal istana yang mula-mula menemukannya.
Berita itu cepat menyebar dari mulut ke seluruh
negeri. Di kawasan yang paling ujung, berita yang
terdengar adalah “Sang
Hiyang tergantung” dan selanjutnya
berubah menjadi “Siang
Gantung”. |
|
|
|
|
|