|
|
Home
> Education
> FolksTale
> Sayembara Ki Ageng Rajekwesi - Jawa Tengah |
|
Sayembara Ki Ageng
Rajekwesi - Jawa Tengah |
|
Dahulu di Jawa Tengah tepatnya di
daerah Kudus, banyak tokoh-tokoh besar yang sakti
mandraguna. Diantaranya tentulah Sunan Kudus, seorang
wali besar yang menjadi salah seorang anggota Dewan
Dakwa Walisongo. Disamping itu ada juga orang sakti
lainnya yaitu Ki Ageng Kedungsari dia adalah warga
terpandang di daerah Gebong yang sekarang berada
di wilayah Kabupaten Kudus. Ia pun berbahagia dengan
seorang anak lelaki yang tampan. Setelah menyaksikan
anaknya itu dewasa, berniatlah Ki Ageng untuk menikahkannya.
Akan tetapi, anaknya sendiri mengakui belum memiliki
pilihan hati. Oleh karena itu, Ki Ageng Kedungsari
meminta bantuan sanak kerabatnya untuk mencari seorang
gadis yang kelak pantas mendampingi anaknya. Beberapa
waktu kemudian, Ki Ageng mendapat kabar bahwa Ki
Ageng Rajekwesi di daerah Jepara memiliki seorang
gadis yang cantik jelita.
Rencana berkunjung dan melamar ke Jepara segera
di persiapkan bersama seluruh kerabat yang semuanya
adalah orang-orang terpandang. Dalam lubuk hati
Ki Ageng Kedungsari, bersemilar harapan yang indah
karena merasa orang yang kaya dan terhormat.
“Berangkatlah dengan segala
kewibawaan agar tidak dipermalukan orang,”
ujar Ki Ageng Kedungsari kepada sanak kerabatnya
yang sudah berkemas melaksanakan tugas melamar.
Tentu saja ucapan itu di sambut dengan senyum kebanggaan.
“Percayalah, kami akan
menjadi utusan yang terbaik dari Kedungsari. Siapa
yang belum mendengar kewibawaan Ki Ageng? Bodohlah
orang yang menolak lamarannya.” Ucapan
itu muncul dari seorang pendekar yang akan bertugas
menjaga rombongan dari kejahatan selama perjalanan.
Sambutan Ki Ageng Rajekwesi di Jepara terhadap utusan
Ki Ageng Kedungsari sangat menyenangkan. Jamuan
makan dan minum terus mengalir diiringi tarian dan
gamelan yang meriah sehingga cepat hilangkan segala
keletihan rombongan yang telah menempuh perjalanan
yang jauh.
Setelah beramah-tamah secukupnya maka disampaikanlah
kehendak Ki Ageng Kedungsari untuk melamar putri
Ki Ageng Rajekwesi bagi anak lelakinya yang tunggal.
Dikatakan pula bahwa keinginan apa pun dari gadis
itu akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
Mendengar lamaran itu, tersenyumlah Ki Ageng Rajekwesi.
Kemudian, ia berkata dengan lembutnya, ”Ki
Sanak, terima kasih atas pilihan Ki Ageng Kedungsari
terhadap putri kami yang masih bocah. Tetapi, ketahuilah
sudah banyak orang yang melamarnya. Namun, sampai
saat ini putriku sendiri masih belum menentapkan
pilihannya. Yang kudengar, dia sanggup dilamar siapa
pun jika mas kawinnya seekor gajah. Nah, sudikah
Ki Sanak menyampaikannya kepada Ki Ageng Kedungsari.”
Kalimat itu diterima ketua rombongan dengan senyu
lega karena teringatlah pada seekor gajah kesayangan
Ki Ageng Kedungsari. Kemudian, bergegaslah mereka
berpamitan kembali ke Kudus. Konon, Ki Ageng Kedungsari
sudah menunggu-nugu hasil utusannya dengan harapan
yang indah.
Akan tetapi, terkejutlah hatinya mendengar persyaratan
mas kawin seekor gajah. Lama dia pun menimbang-nimbang
dan akhirnya mengabulkan permintaan calon menantunya.
Jadi, kasih sayangnya terhadap anak mampu mengalahkan
kesenangannya sendiri.
Kemudian, tersiarlah kabar dari mulut kemulut penduduk
tentang rencana lamaran Ki Ageng Kedungsari yang
telah merelakan seekor gajah kesayangannya sebagai
mas kawin.
Kabar itupun terdengar oleh Ki Ageng Menawan yang
merasa hiri hatinya membayangkan keberhasilan Ki
Ageng Kedungsari. Dalam hatinya tumbuh niat yang
jahat hendak menggagalkan rencana itu, bahkan ingin
merampas gajah Ki Ageng Kedungsari untuk dirinya
sendiri. Pikirnya, “Kalau
aku memiliki gajah itu pastilah menjadi orang terpandang.
Dan sekarang saat yang tepat.”
Bergegaslah orang itu bersekongkol dengan sahabatnya
yang terkenal dengan sebutan Ki Watu Gede. Dengan
semangat yang berkobar-kobar berujarlah dia kepada
sahabatnya, “Kelak utusan
Ki Ageng Kedungsari pasti melewati daerahmu, membawa
harta benda yang mahal-mahal dan menuntun seekor
gajah untuk mas kawin putri Rajekwesi. Jangan sia-siakan
kesempatan itu, dan rampasannya dibagi dua. Ki Watu
Gede boleh memiliki seluruh harta benda yang terbawa,
sedangkan aku sendiri hanya ingin memiliki gajahnya.
Setuju, bukan?"
Mendengar tawaran itu tertawalah Ki Watu Gede sambil
berjanji hendak bekerja sama dengan sebaik-baiknya.
Namun, didalam hatinya terbit juga keinginan untuk
memiliki sendiri gajah itu agar kelak menjadi orang
yang terpandang.
Tidak lama kemudian, rombongan dari Kedungsari telah
memasuki wilayah kekuasaan Ki Watu Gede. Mereka
baru menempuh setengah perjalanan untuk mencapai
daerah Jepara.
Seluruh anggota rombongan itu makin meningkatkan
kewspadaan karena sadar telah berada di luar wilayah
sendiri. Mereka sudah berpikir bahwa setiap saat
bisa terjadi perampokan terhadap harta bendanya.
Ternyata musibah itu harus dihadapinya. Pada saat
bermalam, datanglah Ki Watu Gede dan Ki Menawan
yang bermaksud untuk merampas harta benda dan gajahnya.
Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah
sehingga terjadilah perkelahian yang seru selama
berhari-hari. Kedua pihak menguras kesaktiannya,
jatuh-bangun dan kalah-menang silih berganti sehingga
menjadi kabar yang tersiar luas di kalangan penduduk
sampai terdengar oleh Ki Ageng Kedungsari.
Perkelahian semakin seru dengan datangnya KI Ageng
Kedungsari yang terbakar hatinya. Namun, sampai
sekian hari kemudian tak seorangpun yang terkalahkan.
Akhirnya, tercapailah perundingan untuk membagi
gajah it menjadi tiga bagian. Ki Menawa memilki
kepalanya, Ki Ageng Kedungsari membawa pulang gembung
atau tubuhnya, dan Ki Watu Gede berhak atas pantat
dan ekornya.
Dari peristiwa itu kelak berkembanglah kepercayaan
bahwa keturunan Ki Menawa adalah orang-orang yang
pemberani, keturunan Ki Ageng Kedungsari ditakdirkan
banyak rezekinya, dan keturunan Ki Watu Gede dikodratkan
selalu kesulitan mencari kehidupan yang layak. Sekarang
orang pun dapat menyaksikan ketiga bagian gajah
itu sebagai batu-batu yang besar, yaitu di desa
Kedungsari dan desa Menawan di wilayah kecamatan
Gebong, Kabupaten Kudus. Satu bagian lagi terdapat
di desa Watu Gede Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. |
|
|
|
|
|