|
|
Home
> Education
> Story
> Jalan Setapak Huarong |
|
Jalan Setapak Huarong |
|
Zhou Yu memerintahkan untuk menghukum
mati kedua sepupu Cai Mao yang dikirim Cao Cao sebagai
mata-mata. Dia mengetahui dari awal bahwa pengkhianatan
mereka kepada Cao Cao adalah tipu muslihat karena
mereka tidak membawa keluarga mereka. Dia meminta
mereka untuk tinggal hanya supaya mereka menyampaikan
kabar yang salah kepada Cao Cao. Sekarang mereka
tidak ada gunanya lagi baginya.
Cao Cao sedang mengadakan rapat dengan prajuritnya
ketika ada laporan bahwa angin tenggara bertiup.
Pada saat yang sama, datanglah sebuah pesan rahasia
dari Huang Gai. Bunyinya: “Saya
sedang di bawah pengawasan yang ketat saat ini.
Tetapi kita telah menerima kiriman beras yang baru
dan Zhou Yu meminta saya bertanggung jawab atas
konvoi kapal beras itu. Saya akan mengirim kiriman
beras ini ke tempat anda. Harap tunggu saya tengah
malam. Bendera saya bergambar naga hijau.”
Cao menjadi sangat senang. Dia berangkat dengan
kapal besar dan menunggu kedatangan Huang Gai. Pada
tengah malam, armada Huang terlihat di kejauhan.
Angin timur bertiup semakin kencang. Ketika kapal
mendekat, Cao menjadi curiga. Kenapa kapal-kapal
tersebut bergerak dengan begitu cepat, jika mereka
mempunyai muatan beras yang sangat berat?
Dia memerintahkan bawahannya untuk menghentikan
kapal Huang Gai. Tetapi Huang Gai, sambil berdiri
di bawah benderanya, melambaikan pedangnya untuk
memerintahkan agar kapal di barisan pertama disulut
api. Dengan segera api berkobar dibantu oleh angin
yang bertiup kencang. Dua puluh kapal melaju ke
arah armada Cao Cao seperti panah terbang.
Kapal Cao diikat menjadi satu. Ketika satu kapal
terkena api, yang lain tidak dapat menghindar. Lidah
api membara dengan tingginya; langit menjadi terang.
Kapal terbakar pasukan Huang Gai datang dari segala
penjuru. Dalam sekejap basis angkatan laut Cao Cao
berubah menjadi lautan api. Tenda Cao Cao di darat
juga terkena api. Seluruh bala tentara Wei menjadi
kacau balau. Pertempuran di Tebing Merah telah dimulai.
Semuanya terbakar. Dengan dikawal oleh pengawalnya,
Cao Cao melarikan diri melalui hutan yang terbakar.
Mereka hampir keluar dari hutan ketika mereka diserang
oleh tentara gabungan Wu dan Shu yang telah menanti
di jebakan. Setelah melewati tiga jebakan yang dipasang
oleh Zhuge Liang, pasukan Cao yang masih sisa hanya
tinggal beberapa ratus orang saja. Lapar dan lelah,
mereka sampai ke persimpangan.
“Manakah jalan terpendek
menuju tujuan kita?” tanya Cao ketika
mereka kembali ke daerah utara menuju wilayah jajahannya,
Xuchang, yang sekarang ini menjadi propinsi Henan.
“Jalan yang ini bagus,”
salah satu prajuritnya menjawab, “tetapi
menghabiskan waktu melewatinya. Jalan setapak Huarong
adalah jalan pintas tetapi sulit ditempuh dan sempit.”
Asap dapat terlihat di sepanjang jalan setapak Huarong
tetapi jalan besar kelihatan tenang.
Cao Cao memutuskan untuk mengambil jalan singkat.
“Tetapi ada asap,”
prajuritnya tidak setuju. “Mungkinkah
ada jebakan lain?”
“Tidak,”
kata Cao Cao. “Seseorang
tidak boleh percaya pada penampilan dalam pertempuran.
Zhuge Liang telah menyalakan api sehingga kita tidak
berani melalui jalan ini. Saya yakin dia telah membuat
jebakan di jalan besar. Kali ini saya tidak akan
jatuh ke dalam jebakannya.”
Jalan setapak Huarong itu berlumpur, sempit dan
penuh dengan lubang. Kuda-kuda terperangkap dalam
lumpur. Prajurit-prajurit harus membuang perlengkapan
mereka agar dapat berjalan. Mereka harus memperbaiki
jalan setapak demi setapak supaya mereka dapat lewat.
Setelah mereka melewati bagian yang susah dari jalan
setapak itu, jalan menjadi lebih mudah. Cao Cao
tertawa. “Jika
Zhuge Liang pandai, dia akan memotong jalan kita
di sini.”
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, lima ratus
orang pemanah dari pasukan Shu muncul di kedua sisi
jalan setapak. Zhuge Liang mengetahui bahwa Cao
adalah seorang penyusun strategi yang baik. Satu-satunya
jalan untuk membuat dia melalui jalan setapak Huarong
adalah dengan sengaja membuatnya melihat ada asap
di langit dan membuatnya berpikir bahwa itu adalah
taktik dan akan melewati jalan setapak dan bukan
jalan besar. Ketika melihat bahwa musuh sudah siap
untuk bertempur satu lawan satu, prajurit Cao menjadi
sangat ketakutan karena mereka telah kehilangan
semangat tempur. Cao Cao sudah putus asa, berpikir
bahwa takdirnya telah tiba.
Salah seorang penasihatnya mengingatkan dia bahwa
jenderal Shu, Guan Yu, yang sekarang sedang berhadapan
dengan mereka, pernah menjadi tamunya dan diperlakukan
dengan sangat baik olehnya.
Mengetahui bahwa Guan Yu adalah orang terhormat,
yang tidak pernah melupakan suatu kebaikan yang
telah diberikan kepadanya. Cao Cao maju dan memberi
hormat kepadanya.
“Bagaimana keadaanmu,
Jenderal, sejak terakhir kali kita bertemu?”
katanya kepada Guan Yu.
Jenderal Guan Yu balas memberi hormat. “Saya
diperintahkan untuk menangkap anda, Perdana Menteri.”
“Pasukan saya telah
dikalahkan. Saya sudah putus asa. Kasihanilah saya
demi persahabatan lama kita.”
“Tetapi di sini saya sedang
menjalankan tugas,” jawab Guan Yu.
“Apakah anda masih
ingat bahwa anda pernah membunuh enam jenderal saya,
tetapi saya tidak menyalahkan anda? Saya yakin anda
masih ingat bagaimana saya memperlakukan anda. Anda
adalah orang yang terhormat. Mohon jangan membinasakan
saya.”
Guan Yu tidak pernah melupakan perlakuan Cao dan
kebaikannya di masa lampau. Dia merasa berutang
budi. Melihat kondisi Cao dan orang-orangnya yang
kacau balau, dia tidak tega menangkap Cao Cao. Maka
ia memerintahkan perwiranya untuk membuka jalan
buat Cao Cao.
Setelah Cao Cao dan orang-orangnya berlari untuk
melewatinya, Guan Yu tiba-tiba berteriak supaya
mereka berhenti seakan-akan dia menyesali perbuatannya.
Pada saat itu, orang-orang Cao turun dari kuda-kuda
mereka, berlutut di hadapan Jenderal Guan Yu dan
menangis. Jenderal merasa sangat kasihan kepada
mereka. Sambil menghela napas, dia akhirnya melepaskan
mereka.
Dari pasukan Cao Cao yang berjumlah 200.000 orang,
hanya dua puluh delapan yang selamat dari pertempuran
di Tebing Merah. Dengan runtuhnya kekuatan militer
kerajaan Wei, terbentuklah kekuatan yang seimbang
di antara ketiga kerajaan: Wei, Shu dan Wu. |
|
Prev
|
|
|
Komentar:
Zhuge Liang berusia dua puluh delapan tahun ketika
pertempuran di Tebing Merah terjadi. Pertempuran
itu tidak akan dapat dimenangkan tanpa bantuan angin
timur, yang terjadi berkat doa Zhuge Liang . Tujuan
sebenarnya dari Zhuge Liang untuk membangun altar
di Gunung Nanping adalah supaya dia dapat melarikan
diri.
Seperti kita lihat dalam skenarionya “meminjam”
panah dari Cao Cao, Zhuge Liang mempunyai pengetahuan
yang baik tentang cuaca. Dia telah tinggal di daerah
ini cukup lama dan mengetahui bahwa di musim dingin
biasanya terjadi perubahan arah angin. Sejak dia
datang di perkemahan kepala pasukan Wu, yaitu Jenderal
Zhou Yu, dia selalu diawasi sang jenderal. Dia menyadari
rasa iri hati Zhou dan bahaya yang dihadapinya.
Berdoa meminta kedatangan angin timur adalah alasan
sempurna untuk pergi ke Gunung Nanping, yang memberinya
kesempatan untuk kabur.
Zhuge Liang (181-234 M) selalu dihormati oleh orang
China sepanjang zaman sebagai ahli strategi dan
taktik yang paling pandai dalam sejarah China kuno.
Melalui usahanya, keseimbangan kekuatan geopolitis
antara ketiga negara yang terus berkompetisi setelah
runtuhnya dinasti Han yang didirikan oleh Liu Bang
pada 206 S.M. dapat tercapai. Liu Bei dipercaya
sebagai keturunan asli dari keluarga kerajaan Han.
Zhuge Liang menjadi perdana menterinya selama bertahun-tahun
dan memenangkan banyak pertempuran untuknya. Zhuge
Liang mengabdi dengan penuh ketekunan dan kesetiaan
yang tidak dapat diragukan sampai kematiannya pada
usia empat puluh tahun. Zhuge juga mempunyai kemampuan
sastra yang sangat hebat. Surat-suratnya untuk Liu
Bei dan anaknya merupakan suatu karya sastra yang
besar.
Berikut ini adalah contoh lain dari kemampuannya
yang luar biasa.
Pada suatu hari, sebuah batalion musuh yang kuat,
yang terdiri dari 150.000 tentara, mendekati sebuah
kota terpencil yang dijaga hanya oleh sejumlah tentara
tua di bawah kepemimpinan Zhuge Liang. Zhuge memerintahkan
semua bendera yang dipasang diturunkan dan semua
pintu kota dibuka. Dia menyuruh dua puluh orang
tentara untuk menyamar sebagai pemulung untuk menyapu
jalan pada keempat pintu kota. Tidak seorang pun
diizinkan bergerak ataupun bersuara. Kemudian dia
sendiri dengan menggunakan pakaian putih yang biasa
ia pakai duduk di tembok kota, menyalakan sebatang
hio dan mulai memainkan sebuah musik yang lembut
dengan kecapi.
Ketika komandan pasukan musuh melihat pemandangan
ini, dia dengan segera menduga ada jebakan dan memutuskan
untuk mundur. Zhuge memiliki reputasi terlalu berhati-hati
untuk bermain-main dengan bahaya. Komandan pasukan
musuh adalah seorang yang licik dan suka bermain
curang dalam menyusun strategi, namun ia sering
menjadi korban dari kecurigaannya sendiri. Zhuge
berspekulasi dengan kecurigaan lawannya dan menang.
Contoh yang lain adalah kampanyenya melawan orang-orang
Burma yang tamak dan kejam. Zhuge menangkap raja
Mantse sebanyak tujuh kali dan sebanyak tujuh kali
juga Zhuge melepaskannya untuk menyusun kembali
kekuatannya dan berperang lagi. Ketika bawahannya
protes, Zhuge Liang berkata, “Saya dapat menangkapnya
seperti saya dapat mengambil sesuatu dari kantong
saya. Apa yang saya lakukan adalah untuk mengalahkannya
dan menaklukkan hatinya.” Ketika raja Mantse
tertangkap untuk ketujuh kalinya, dia berlutut di
hadapan Zhuge Liang.
“Meskipun saya tidak berbudaya, saya masih
memiliki rasa malu. Saya tidak akan melawan lagi,”
katanya.
Pada akhirnya, Liu Bei gagal mengembalikan kejayaan
dinasti Han, dan ketiga kerajaan digantikan oleh
dinasti lain, tetapi legenda Zhuge Liang tetap abadi.
Namanya menjadi sinonim dari kebijaksanaan dan kreativitas. |
|
VEGETABLE ROOTS
Berilah lebih daripada yang kamu terima, sehingga
yang tamak pun akan berterima kasih kepadamu.
Simpanlah cukup kecerdikan sebagai persediaan, sehingga
pada masa yang tidak diduga, kamu tidak akan terpojok. |
|
Taken From
Michael C. Tang Book “Kisah-Kisah
Kebijaksanaan China Klasik - Refleksi Bagi Para
Pemimpin” |
|
|
|
|
|