Potret seorang ibu menurut cendekiawan,
Jiang Shiquan, dari dinasti Qing di abad kedelapan
belas, mewakili nilai kebajikan tradisionil tentang
Ibu di China: cinta, kesabaran, toleransi, kerajinan,
pengorbanan diri, dan di atas segalanya, rasa tanggung
jawab. Apa yang diperjuangkannya adalah memastikan
bahwa anaknya mendapatkan pendidikan yang baik.
Itu gambaran yang paling tepat bagi kebijaksanaan
seorang ibu.
Ibu saya menikah dengan ayah saya ketika dia berusia
delapan belas tahun. Ayah saya baru saja merayakan
ulang tahunnya yang ke empat puluh. Ibu adalah seorang
wanita yang berpengetahuan, karena dia telah belajar
dengan ayahnya sejak ia masih kecil.
Ketika saya berusia empat tahun, Ayah harus meninggalkan
rumah untuk bekerja di tempat lain. Dia menitipkan
Ibu dan saya untuk tinggal bersama kakek saya.
Saya mulai belajar dengan Ibu. Setiap hari dia akan
mengajari saya sepuluh kosakata baru. Hari berikutnya
dia akan menyuruh saya untuk menuliskan kosakata
yang sudah saya pelajari. Ibu biasanya menenun ketika
saya belajar. Ibu menginginkan saya untuk membaca
dengan suara keras, dan sering kali suara saya dan
suara alat tenun saling bersahutan satu dengan yang
lain di ruang kami yang kecil itu.
Jika saya tidak bekerja keras, Ibu akan kecewa.
Kadang-kadang dia memukul saya, meskipun jika dia
melakukannya, matanya akan tergenang dengan air
mata. Kadang-kadang saya menjadi sangat lelah dan
tertidur di tangan Ibu. Tetapi Ibu akan membangunkan
saya setelah beberapa saat dan menyuruh saya menyelesaikan
tugas saya. Ketika saya membuka mata, saya mendapatkannya
menangis lagi. Kemudian saya menangis bersamanya
dan melanjutkan untuk belajar. “Jika
kamu tidak belajar,” Ibu memeluk saya dengan
tangannya dan berkata, “apa yang akan kita
tunjukkan kepada ayahmu ketika dia kembali?”
“Adik, kamu hanya mempunyai satu anak,”
kata bibi saya kepada ibu saya. “Kenapa kamu
begitu keras terhadapnya?” “Jika
saya mempunyai beberapa anak,” jawab Ibu,
“mungkin akan berbeda. Justru karena saya
hanya mempunyai satu anak, saya ingin dia sukses
di masa depannya.”
Pada suatu hari Ibu jatuh sakit. Saya duduk di samping
tempat tidurnya. Dia memandang saya dan saya memandang
dia, hati kami dipenuhi oleh perasaan cinta yang
tidak terlukiskan dibalut oleh penderitaan.
“Apa yang dapat saya lakukan untuk membuatmu
bahagia, Ibu?” tanya saya.
“Jika kamu dapat mengulangi apa yang telah
kamu pelajari, saya akan sangat bahagia.”
Maka saya berdiri, mengucapkan dengan keras dan
jelas apa yang telah saya pelajari.
“Saya merasa jauh lebih baik sekarang.”
kata Ibu dengan tersenyum.
Keluarga kakek saya tidak kaya, apalagi setelah
panen yang buruk ketika segala sesuatu menjadi
makin buruk. Semua baju dan sepatu saya dibuat
oleh Ibu. Pada kenyataannya, hasil karyanya sangat
bagus dan menjadi pujaan orang-orang sekitar.
Kalau apa yang telah dibordirnya dijual di pasar,
pasti dengan cepat akan terjual habis.
Ketika nenek sakit keras, Ibu menungguinya selama
empat puluh hari dan empat puluh malam. Tetapi
dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Sebelum menghidangkan makanan atau ramuan obat
kepada nenek, dia akan mencicipinya dahulu untuk
meyakinkan bahwa segala sesuatunya telah sempurna.
Ketika Nenek meninggal, Ibu sangatlah sedih sampai
dia tidak mau makan apa pun selama tujuh hari.
Ayah akhirnya kembali ketika saya berumur sepuluh
tahun. Tahun berikutnya dia membawa kami ke tempat
di mana dia ditunjuk sebagai hakim. Kapan pun
Ayah mempunyai kasus yang penting untuk disidangkan,
Ibu menganjurkannya untuk memberikan keputusan
yang terbaik.
“Kamu tahu bahwa kamu sebaiknya tidak mengambil
keputusan yang salah karena itu akan berakibat
buruk pada anak kita,” dia memperingatkan
Ayah. Dan Ayah selalu mengangguk setuju.
Jika Ayah melakukan sesuatu yang salah, Ibu akan
menunjukkannya. Tetapi ketika Ayah menjadi tidak
sabar dan menolak untuk mendengarkannya, dia akan
mendiamkan masalah itu selama beberapa saat sampai
perasaan Ayah membaik. Kemudian dia akan mengangkat
masalah itu lagi dan berbicara dengannya sampai
Ayah mengakui kesalahannya.
Ayah meninggal ketika Ibu berusia empat puluh
tiga tahun. Ibu menangis dengan pahitnya dan pingsan
beberapa kali. Di pemakaman, Ibu memberikan pidato
singkat. Meskipun sangat datar, pidatonya membawa
pesan akan cinta yang mendalam dan hati yang terluka
yang membuat semua orang yang hadir ikut menangis.
Saya menikah pada usia dua puluh satu. Ibu memperlakukan
istri saya seperti layaknya anaknya sendiri. Tahun
berikutnya ketika saya lulus ujian negara, kebahagiaan
Ibu sangat sulit dilukiskan.
Saya harus bekerja jauh dari rumah. Ketika Ibu
rindu, dia akan menulis puisi untuk mengungkapkan
perasaannya kepada saya. Tetapi dia tidak pernah
mengirimkan satu pun dari puisinya kepada saya.
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu seorang
pelukis potret yang sangat berbakat. Saya memintanya
untuk melukis potret Ibu. Untuk latar belakangnya,
saya menanyakan pendapat ibu.
“Ibu, saya harap lukisan ini akan membuatmu
bahagia. Tolong beritahu saya apa yang ingin Ibu
masukkan dalam latar belakang lukisan ini.”
“Yah,” ibu menghela napas. “Orangtuaku
dan suamiku telah meninggal. Tidak ada lagi kebahagiaan
untuk dibicarakan. Tetapi jika anak dan menantuku
mengetahui bagaimana caranya mendidik anak-anak
mereka. Aku akan puas.”
Maka, pelukis itu melukis sebuah potret dengan posisi
ibu sedang menenun dengan alat tenunnya, istri saya
duduk di sampingnya untuk membantunya, saya belajar
di meja diterangi lilin yang besar, dan seorang
anak laki dan seorang anak perempuan bermain di
taman di bawah sinar bulan di mana pohon-pohon dan
bunga-bunga berguguran karena hembusan angin musim
gugur.
Ibu sangat menyukai lukisan itu. Maka saya menulis
sebuah cerita mengenai Ibu saya untuk mengenang
kejadian itu. |