Konfusius jarang bercerita mengenai
masa kecilnya tapi pernah sekali dia berkata,
“Ketika saya masih muda,
kami sangatlah miskin. Mungkin itu sebabnya saya
belajar melakukan banyak pekerjaan aneh seperti
seorang buruh.”
Meskipun tingginya hampir 2 meter dan tubuhnya
sangat kuat, Konfusius tidak ingin mengikuti jejak
ayahnya menjadi seorang prajurit, pekerjaan yang
paling bergengsi pada masa itu, karena dia tidak
tertarik pada dunia militer.
Dia adalah seorang pemikir. Dia tidak pernah mengenyam
pendidikan formal, tetapi dia menyukai buku, terutama
buku mengenai kebijaksanaan raja-raja bijaksana
dari masa lampau yang memerintah tidak dengan
kekerasan tetapi dengan kebijaksanaan. Dia sering
mengutarakan bagaimana orang menikmati hidup dalam
kedamaian dan kejayaan pada awal dinasti Zhou.
“Ketika saya berusia
lima belas tahun,” katanya, “saya
memusatkan pikiran saya kepada belajar. Pernah
seharian saya berpikir tanpa makan dan berpikir
semalaman tanpa tidur, tapi tidak mendapatkan
apa-apa. Maka saya memutuskan untuk belajar.”
Jelaslah bahwa ketekunan dan keteguhan hatinyalah
yang membuatnya menjadi guru, pemikir, dan filsuf
terbesar dalam sejarah China.
Melalui belajar sendiri, Konfusius melatih dirinya
menjadi ahli di bidang sosial, matematika, seni
panah, seni menunggang kuda, musik dan etika,
enam hal yang dianggap sebagai syarat utama menjadi
seorang pria sejati pada saat itu.
Contohnya musik. Konfusius sangat senang akan
musik, dapat bernyanyi dan memainkan kecapi. Dia
yakin bahwa musik dapat memberi pengaruh baik
ataupun buruk pada pikiran dan karakter seseorang,
dan bahkan pada masyarakat secara keseluruhan.
“Ketika kamu melihat
gaya tari-tarian dan musik suatu negara,”
katanya, “kamu secara
garis besar akan mengetahui karakter suatu negara.”
Pada suatu hari dia mendapat kesempatan untuk
mendengar paduan suara para penyanyi buta dari
ibu kota dinasti Zhou, yang sekarang ini menjadi
kota Luoyang, di Propinsi Henan. Dia sangatlah
terpesona dengan musik itu sampai dia berkata
bahwa ia dapat melupakan rasa daging selama tiga
bulan. Setelah peristiwa itu, dia mempunyai perasaan
khusus terhadap orang buta, sering kali membantu
mereka dan memberi hormat pada mereka meskipun
mereka tidak dapat melihatnya.
Konfusius mempelajari musik dari seorang ahli
musik hebat terkenal dari negara Lu.
“Kamu dapat bermain
dengan baik sekarang,” suatu hari
guru musik itu berkata kepadanya setelah dia berlatih
sebuah komposisi musik kuno dengan kecapi selama
sepuluh hari. “Mari
coba sesuatu yang lain.” “Tidak,
Guru,” kata Konfusius. “Saya
telah belajar melodinya tapi belum mempelajari
ritmenya.”
Beberapa latihan kemudian gurunya berkata: “Sekarang
kamu telah menguasai ritmenya. Kita dapat mencoba
yang lain.” “Tidak,”
tolak Konfusius. “Saya
belum mendapatkan semangatnya.”
Setelah beberapa saat, guru musik mengatakan bahwa
dia sudah cukup berlatih. “Belum.
Saya masih mencoba mendapatkan perasaan seperti
apa karakter si penulis lagu.”
Maka dia bermain lagi dan lagi. Kadangkala musik
itu terdengar begitu lembut dan penuh perasaan,
kadang kala riang dan hidup. Guru musik itu sangat
puas.
Beberapa hari kemudian, ketika Konfusius memainkan
komposisi musik yang sama, wajahnya tiba-tiba
menjadi cerah.
“Guru, saya menemukannya!”
teriaknya sangat senang. “Saya
menemukan siapa dia. Dia adalah seorang yang tinggi,
besar, dan berkulit kehitaman. Ada sesuatu yang
tidak biasa padanya. Dia mempunyai hati yang ingin
menjangkau seluruh dunia. Dia pasti Raja Wen yang
mendirikan dinasti Zhou enam ratus tahun yang
lalu.”
Guru musik itu sangat kagum dengan insting musik
Konfusius. Secara suka rela dia memberi hormat
dua kali ke muridnya.
“Ya, kamu benar!”
katanya. “Guruku memberitahu
saya bahwa komposisi musik itu memang dibuat oleh
Raja Wen.”
Pada saat dia kemudian menjadi guru, Konfusius
memasukkan musik sebagai bagian dari mata pelajarannya.
Suatu hari Konfusius sedang bermain kecapi di
kamarnya. Dua orang muridnya, Zigong dan Zeng
Shen, mendengarkan dari luar. Tiba-tiba Zeng Shen
merasakan sebuah nada sumbang dari musik yang
bukan karakteristik Konfusius. Ketika Zigong memberitahu
Konfusius mengenai komentar Zeng Shen, ia tertawa.
“Shen mempunyai telinga
yang peka,” katanya. “Saya
melihat seekor kucing mengejar seekor tikus. Karena
saya tidak suka melihat bahwa tikus itu larinya
lebih cepat dibanding kucing, saya ingin sekali
membunuh tikus itu. Saya merasakan hasrat pembunuh
dalam diri saya saat itu. Perasaan itu pasti tercetus
dalam musik.”
|