Tujuan utama Konfusius adalah untuk
mendidik murid-muridnya menjadi seorang pria sejati
dengan pengetahuan dan moral yang berkualitas tinggi.
Dia menyarankan bahwa karier yang terbaik untuk
pria sejati seperti itu adalah sebagai pegawai pemerintahan
yang bekerja untuk kepentingan rakyat banyak sehingga
menghasilkan dunia yang lebih baik. Dengan alasan
itu, Konfusius melatih sebuah grup elit bukan berdasarkan
atas kekayaan atau latar belakang keluarga, tetapi
berdasarkan kemampuan dan integritas moral mereka.
Kriteria untuk memilih muridnya adalah pandai, serta
mempunyai keinginan dan semangat untuk belajar.
Konfusius banyak membahas kualitas seorang pria
sejati:
Seorang pria sejati haruslah rendah hati, murah
hati, berwawasan luas dan baik hati.
Seorang pria sejati mengerti apa yang adil dan benar;
orang yang picik hanya mencari keuntungan.
Seorang pria sejati menolong sesamanya untuk menyadari
potensi mereka dan tidak mengikuti temannya berbuat
jahat; orang yang picik berbuat sebaliknya.
Seorang pria sejati khawatir tentang ketidakmampuannya,
bukan apakah orang lain menghargai kemampuannya
atau tidak.
Seorang pria sejati menuntut dirinya sendiri; seorang
yang picik menuntut orang lain.
Seorang pria sejati mempunyai lingkungan sosial
yang luas; orang yang picik hanya menjadi pengikut.
Seorang pria sejati mula-mula akan mempraktekkan
apa yang dia katakan, kemudian mengatakan apa yang
dia praktekkan.
Seorang pria sejati lambat berbicara tapi cepat
dalam bertindak.
Anekdot berikut ini juga menggambarkan apa yang
ada di benak Konfusius mengenai kualitas seorang
pria sejati.
Pada suatu hari pada saat dia naik ke bukit, Konfusius
mengirim Zilu untuk mencari air. Dalam perjalanannya,
Zilu bertemu dengan harimau. Setelah bertempur dengan
hebat, dia berhasil membunuh binatang buas itu dengan
memegang ekornya. Ia memotong ekor harimau dan membawanya
ketika kembali dengan membawa air, ingin segera
menunjukkan piala itu kepada Konfusius. Tetapi pertama-tama
dia bertanya, “Guru, bagaimanakah
seorang yang hebat membunuh seekor harimau?”]
“Seorang yang hebat membunuh harimau dengan
mengincar kepalanya,” jawab sang Guru.
“Bagaimana orang biasa
membunuh harimau?” “Orang
biasa membunuh harimau dengan mengincar telinganya.”
“Bagaimana orang yang
rendah membunuh harimau?” “Orang
yang rendah membunuh harimau dengan menarik ekornya.”
Zilu sangat malu dan membuang ekor harimau itu.
“Mengapa guru
mengirim saya untuk mencari air di gunung?”
dia berpikir beberapa saat. “Bukankah dia
mengetahui bahwa harimau tinggal di dataran tinggi?
Dia pasti menginginkan saya terbunuh.”
Maka dia memikul sebuah batu besar di atas punggungnya
untuk membunuh Konfusius. “Bagaimana
seorang yang hebat membunuh seorang laki-laki?”
tanyanya sebelum bertindak. “Seorang
yang hebat membunuh orang dengan penanya.”
“Bagaimana orang biasa
membunuh orang?” “Orang
biasa membunuh orang dengan lidahnya.”
“Bagaimana orang yang
rendah membunuh orang?” “Orang
yang rendah membunuh orang dengan sebuah batu.”
Zilu berbalik karena malu dan membuang batu itu.
Suatu ketika Konfusius bertanya kepada murid-muridnya
tentang angan-angan mereka. Zilu tanpa ragu-ragu
berkata, “Ambisi saya
adalah seperti ini: Misalnya sebuah kerajaan yang
memiliki seribu kereta perang diduduki oleh kerajaan
yang lebih kuat dan sedang menderita kelaparan.
Saya akan mengatasi masalah mereka dalam waktu tiga
tahun.” “Berikan
saya sebuah negara kecil,” kata Ran
Qiu, “Saya akan membuat
warganya menjadi kaya dalam waktu tiga tahun. Tapi
untuk sopan santun dan menghargai musik, saya serahkan
pada orang lain.” “Saya
ingin menjadi pimpinan acara yang mengatur bermacam-macam
ritual di tempat umum dan konverensi diplomatik,”
kata Gongxi Hua. “Saya
khawatir keinginanku berbeda dengan kalian,”
kata Zeng Xi yang terakhir mengungkapkan keinginannya.
“Ketika musim semi datang,
saya akan mengenakan baju santai, mengajak beberapa
teman pergi berenang di sungai. Kemudian saya akan
menikmati kesegaran udara hutan, dan kembali ke
rumah, bernyanyi dengan riang.”
“Kedengarannya sangat
bagus,” senyum Konfusius. “Saya
paling menyukai angan-anganmu.”
Zilu bertanya apa angan-angan Konfusius.
“Memberikan kenyamanan
bagi yang tua; berlaku setia kepada teman dan
menghargai yang muda,” jawab sang
guru.
Pada suatu hari seorang penjual ikan ingin memberi
Konfusius seekor ikan sebagai hadiah. Pada mulanya
Konfusius menolak.
“Hari ini saya sudah
menjual semua ikan saya kecuali yang satu ini,”
kata penjual ikan. “Hari
ini hangat. Daripada membuangnya, saya pikir saya
sebaiknya memberikannya sebagai hadiah.”
Konfusius berterima kasih kepada orang itu dan
menerima ikannya. Kemudian dia menyuruh muridnya
untuk membersihkan ruangan, karena ia ingin memberikan
ikan itu sebagai sesaji kepada dewa.
“Ini adalah ikan yang
hampir dibuang seseorang,” salah
seorang muridnya tidak setuju. “Kenapa
anda ingin memberikannya kepada dewa?”
“Jika seseorang mengerti
beramal dan memberikan apa yang tidak dia butuhkan,”
kata sang guru, “dia
seharusnya dihargai sebagai seorang suci. Sekarang
saya telah menerima hadiah dari seorang suci,
bukankah saya dapat mempersembahkannya kepada
dewa?”
Bakti kepada keluarga adalah topik penting yang
sering dibahas Konfusius. “Di
rumah hormatilah orang tuamu. Ketika kamu pergi
dari rumah, hormatilah orang yang lebih tua. Jujurlah
selalu. Cintailah teman-temanmu, dan cintailah
apa yang baik. Kemudian teruslah belajar selama
kamu masih mempunyai waktu dan tenaga.”
“Janganlah membuat orang
tuamu khawatir kecuali ketika kamu sakit,”
Konfusius menasihati muridnya. “Ingatlah
selalu usia orang tuamu dan jadikan kesenioran
mereka menjadi kebahagiaan dan juga penghormatanmu.”
Sebagai seorang yang kaya oleh etika dan sopan
santun, Konfusius menghargai perayaan keagamaan
sebagai bagian dari adat yang baku. Tetapi dia
tidak pernah berbicara mengenai setan, supranatural,
hal-hal gaib dan aneh. Dia berkata, “Kita
tidak memahami kehidupan; bagaimana kita dapat
mengerti kematian? Kita belum sepenuhnya memahami
kewajiban kita pada orang yang masih hidup, bagaimana
kita mengetahui kewajiban kita pada orang mati?"
Untuk menghabiskan waktu, Konfusius gemar memancing,
tetapi hanya mau menggunakan kail, dan bukan jala.
Dia suka berburu, tapi tidak mengincar burung
yang sedang beristirahat karena dia merasa itu
tidak adil bagi binatang tersebut.
Pada suatu hari, kandang kudanya terbakar. Ketika
dia kembali, dia bertanya apakah ada orang yang
terluka. Dia tidak menanyakan mengenai kuda-kudanya.
|